Archive | Red ginger RSS feed for this section

PERLEBAHAN TRADISIONAL LEBAH STINGLESS/TANPA SENGA (TRIGONA SP ) OLEH SUKU KANI DI WESTERN GHATS , TAMIL NADU , INDIA (terjemahan bebas jurnal karya M Suresh Kumar , AJA Ranjit Singh & G Alagumuthu)

11 Jul

Indian Journal of Traditional Knowledge
Vol . 11 ( 2 ) , April 2012 , hlm 342-345

PERLEBAHAN TRADISIONAL LEBAH STINGLESS/TANPA SENGA (TRIGONA SP ) OLEH SUKU KANI
DI WESTERN GHATS , TAMIL NADU , INDIA

M Suresh Kumar1 , AJA Ranjit Singh1 * & G Alagumuthu2
1Jurusan Zoologi dan Advanced Bioteknologi , 2Department Kimia
Sri Paramakalyani College, Alwarkurichi – 627 412 , Tirunelveli Dist , Tamil Nadu , India
Email : ranjitspkc@gmail.com , chlorosuresh@rediffmail.com
Diterima 2009/12/31 ; direvisi 04.03.2011

Di India, lebah madu seperti Apis cerana dan Apis mellifera dipelihara untuk tujuan komersial.Lebah lainnya seperti lebah batu (Apis dorsata), lebah kecil (Apis Florea) dan lebah Dammer (Trigona sp) tidak dijinakkan karena sifat Ekofisiologi mereka. Namun, suku-suku Kani yang tinggal di daerah- daerah Karayar di Kalakad-Mundanthurai Tiger Reserve (KMTR), Bagian Barat Ghats telah mengembangkan metode baru untuk membesarkan lebah Dammer. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami keterampilan tradisional suku Kani memelihara lebah stingless ( Trigona sp.) yang tidak digunakan untuk memelihara lebah biasa. Penelitian ini juga penting untuk mengembangkan strategi komersial yang ada saat ini untuk mendapatkan madu (madu obat) dari Trigona sp.Temuan dari penelitian ini akan membantu melestarikan seni memelihara lebah stingless dan memperkenalkan teknik modern untuk memanen madu murni, bersih dan tidak terkontaminasi menggunakan modifikasi berbagai praktek alami Lebah stingless. Madu yang diproduksi oleh lebah Dammer merupakan obat mujarab untuk berbagai penyakit manusia. Suku Kani telah menggunakan tiang bambu sebagai sarang lebah untuk mempertahankan sifat spesies Lebah ini sebagai Trigona irredipensis. Lebah Dammer membangun suatu tipe sisiran yang menarik terbuat dari propolis dan mud, dan sekitar 600 – 700gm madu yang dapat dikumpulkan per tahun per sarang. Karena nilai farmakologisnya yang tinggi, maka madu yang dikumpulkan dari sarang lebah ini dijual seharga Rs.1000/Kg.

Kata kunci : Pemeliharaan lebah , Trigona sp., suku Kani, sarang lebah dari tiang Bambu, lebah Dammer, Lebah stingless

IPC Int Cl.8 : A01K 47 / 00 , A01K 51 / 00 , A01K 59 / 00 , A01K 59 / 06

Asia memiliki jumlah fauna lebah yang lebih sedikit dibandingkan dengan wilayah biogeografis yang lain serta keragaman yang lebih rendah dibandingkan wilayah Neotropik, tetapi dalam hal kelimpahan sosial lebah (Apoidae : Apidae) adalah yang paling banyak terdapat dalam spektrum pollinator1, 2. Madu merupakan produk obat yang kaya energi yang dihasilkan oleh berbagai spesies lebah madu. Lebah madu terdiri dari Lebah bersengat/stinged bee dan lebah tanpa sengat/ stingless bee. Biasanya madu diperoleh dari spesies Apis dorsata, Apis Florea, Apis cerana dan Lebah Italia, Apis mellifera. Karena Apis dorsata adalah lebah liar yang hidup di batu dan tidak dapat dijinakkan, maka para peternak lebah memelihara Apis cerana dan Apis mellifera 3-5. Masyarakat Tribal
yang tinggal di Barat Ghats berhasil memeliharalebah stingless yang tidak dapat dipelihara dalam sarang lebah modern yang biasa digunakan. Lebah stingless berukuran kecil (beberapa mm) dan merupakan spesies asli yang bersarang di antara batu-batu, dinding tua, pohon mati dan rongga pohon, mereka tersebar secara luas di daerah tropis dan wilayah beriklim sedang di seluruh dunia 6,7. Suku-suku Kani menggunakan sarang lebah yang sangat khas untuk memelihara lebah ini, yang biasanya liar. Madu yang dihasilkan oleh Trigona sp memiliki sifat farmakologis yang tinggi dan memiliki permintaan pasar yang sangat baik. Harga madu ini sekitar 20 kali lebih mahal daripada madu yang dihasilkan oleh lebah lainnya. Oleh karena itu pada penelitian ini, telah dilakukan upaya untuk mempelajari teknologi yang digunakan oleh suku-suku Kani untuk membesarkan Trigona sp.

Metodologi
Metodologi yang digunakan oleh suku-suku Kani untuk memelihara lebah stingless dipelajari secara rinci. Untuk mempelajari lebah stingless, dilakukan observasi berkala pada tiga pemukiman suku Kani (Kanikudiyiruppu, Mayilar dan Periyamayilar) di Karayar daerah Kalakad-Mundanthurai Tiger reserve (KMTR) wilayah Barat Ghats. Kalakkad-Mundanthurai Tiger reserve berada pada Kabupaten Tirunelveli, Tamil Nadu. Daerah ini terletak antara lintang 8 ° 25′ dan 8° 53′ N dan bujur 77° 10′ dan 77 ° 35’E. Untuk mendapatkan informasi dan mempelajari seni tradisional memelihara Lebah, enam keluarga diwawancarai. Izin diperoleh dari suku ini setelah berkonsultasi dengan Kepala Desa
(Mootukani). Suku Kani di hutan merupakan salah satumasyarakat primitif yang menetap di daerah ini. Terdapat lima permukiman suku di daerah ini (Servalar, Kanikudiyiruppu, Mayilar, Periyamayilar dan Inchikuzhi). Sesuai hasil kesepakatan, beberapa keluarga suku Kani memelihara koloni Trigona di rumah mereka. Namun, ada seseorang bernama Mr Sankar Kani yang telah memelihara lebah ini selama lebih dari 30 tahun. Berbagai karakteristik teknologi yang mereka gunakan untuk memelihara Trigona sp dipelajari secara rinci.

Trigona irredipensis adalah lebah madu liar umum di daerah Ghats Barat . Madu yang disimpan oleh serangga ini adalah obat yang sangat mujarab. Karena madu yang dihasilkan sedikit dan keberadannya di alam liar, Trigona sp tidak dipelihara untuk tujuan komersial. Namun, suku Kani telah mengembangkan beberapa teknologi adat untuk memelihara lebah ini dan menjual madunya dengan harga yang baik.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sarang lebah alami dari Lebah stingless.

 

Biasanya lebah stingless membangun sarang mereka di batang pohon, kayu, celah-celah dinding (Gambar 1) dan di bawah ataptempat tinggal. Lebah stingless mencampurkan resin tanaman dengan lilin untuk membangun pintu masuk sarang dan juga membungkus bagian luar sarang dengan resin untuk melindunginya dari mereka musuh seperti semut dan tawon. Mayoritas lebah ini lebih memilih pohon jati untuk membangun sarang mereka. Pohon jati dapat mempertahankan suhu dan kelembaban pada tingkat optimal, sehingga lebih memilih pohon jati (Tectona grandis.Linn.f). Secara alamiah,susunan sarang lebah ini sangat aneh. Sarang ini sama sekali berbeda dari sarang lebah madu yang lain. Fitur unik dari sarang ini adalah pengaturan multilayernya. Dalam sarang terdapat ruang-ruang yang berbeda yang diatur dalam urutan sebagai berikut, yaitu ruang penyimpanan pollen (ruang makanan), ruang penyimpanan madu dan ruang bertelur. Sisiran dibangun dalampola horizontal atau vertikal dalam batang pohon. Keempat ruang saling berhubungan dan lebah masuk melalui lubang tunggal. Lebah Stingless biasanya membentuk kawanan sekali dalam satu tahun (Juni-Juli) dan selama periode tersebut sarang mereka menghilang dari pohon-pohon.

Mereka menggunakan berbagai perekat yang dikumpulkan dari berbagai tanaman dalam bentuk resin (propolis) untuk membangunsarang. Propolis dikumpulkan dari Kongu,Nangu, pohon mangga, nangka dan mayilamaram. Resin bersifat kaku dan setengah padat. Pakan utama lebahmeliputi: Thottal vadi (Mimosa pudica), Thumbai(Leucas aspera), Tirnirupachai (Ocimum sanctum) dan Tridax procumbents, dll. Mereka tinggal di kompleks koloni. Sebuah koloni umumnya berisi lebah ratu, lebah pejantan dan lebah pekerja.

Dua masalah utama dalam membudidayakan lebah stingless ketika memindahkannya dari sarang tradisional ke sarang modern adalah mereka sering melarikan diri atau lebah membangun sisiran di antara frame dan bagian dalam kotak sarang lebah. Karena itu, suku Kani telah mengembangkan suatu teknologi untukmemelihara lebah ini dengan sukses.

Sarang lebah tradisional yang dikembangkan oleh suku Kani

Kani Kudieruppu adalah daerah yang dihuni oleh suku Kani. Lebih dari 50 tahun masyarakat Kanikar di Western Ghats berlatih beternak lebah Trigona. Metode beternak yang dipakai jarang dan tidak biasa dilakukan oleh suku-suku lain di India. Berikut ini adalah deskripsi metode yang digunakan oleh suku Kani.

Metode pemeliharaan Trigona sp oleh suku Kani

Trigona irredipensis dipelihara dalam batang berongga pohon bambu. Batang bambu dengan diameter 30-35 cm dipilih. Panjang sarang bambu adalah 80-85 cm. Batang bambu dibagi menjadi
dua bagian dan kedua bagian disatukan erat-erat denganbantuan tali. Batang bambu yang disatukan memiliki celah sempit di tengah untuk tempat masuknya lebah. Kedua ujung batang bambu disegel. Salah satu ujung yang tersegel dibuka kemudian pindahkan ruangan bertelur ke dalam batang bambu. Setelah 2 jam, koloni menetap sepenuhnya di dalam tiang bambu dengan baik. Log bambu ditutup dan diikat dengan tali di kedua tepi dan akhirnya ujungnya disegel. Tiang bambu berisi lebah tersebut dibawa ke rumah dan diikat di bawah atap pondok (Gbr.2). Lebah dalam bambu mulai bergerak ke luar melalui celah sempit yang tersisa di tengah. Perlahan-lahan lebah membuat jalan masuk (Gbr.3) dengan menggunakan resin (propolis) yang dikumpulkan dari pohon-pohon dan lilin mereka. Lebah hidup dalam koloni yang kompleks. Sebuah koloni umumnya mengandunglebah ratu, lebah pejantan dan lebah pekerja (Gbr.4). Di bulan Juni-Juli (South West Monsoon season), lebah menyimpan madu secara maksimal. Sebuah koloni tunggal menghasilkan 600-700gm/tahun. Ketika sarang bambu sarat dengan madu, suku membuka tiang bambu (Gbr.5). Dalam sarang lebah tiga ruangan (ruang bertelur, ruang penyimpanan pollen (gudang makanan) dan ruang penyimpanan madu) saling berhubungan (Figs.6 & 7). Dari dalam sarang, suku ini mengeluarkan ruang penyimpanan madu saja (tidak seperti sisiran heksagonal) dihancur dalam kain putih, disaring dan dimasukan ke dalam botol . Madu yang dihasilkan memiliki warna, bau dan rasa yang berbeda. Komponen-komponen madu tersebut berbeda dengan madu yang diperoleh dari lebah lainnya. Madu ini sangat berkhasiat dan memiliki permintaan pasar yang baik. Lebah stingless juga bertindak sebagai pollinator/penyerbuk yang penting.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar. 1Sarang lebah di celah-celahdinding; Gambar. 2Sarang bambu di bawahatappondok; Gambar. 3Pintu masuk lebah dalam sarangbambu; Gambar. 4 Kastalebah yang berbeda; Gambar. 5Kanikarmembukatiangbambumenjadi dua bagian; Gambar. 6Tigaruangansaling berhubungan dalamsarangbambu; Gambar. 7 PengaturanMultilayerdisarang bambu

 

 

Metode tradisional untukmenjinakkanlebahliar ini sangat menarikdanini dapat direkomendasikanuntukpemerintahdan lembaganon-pemerintah lainnya untuk diikuti. Metode ini juga akan membantumelestarikanlebahstingless yang terancam punah.

Kesimpulan
Orang-orang suku Kani menggunakan sarang bambu untuk memelihara lebah stingless. Sarang lebah buatan dibuatdari ruas tiang bambu. Dalam rongga tiang, lebah diperbolehkan untuk membangun koloni. Diamati bahwa sarang lebah membangun memiliki multilayer pengaturan; yaitu. ruang pollen (gudang makanan),ruang penyimpanan madu dan ruangan bertelur yang teratur susunannya dari bawah ke atas. Pada koloni tunggal buatan ditemukan bahwa sarang lebah bambu mampu menghasilkan madu sebanyak 600-700gm/tahun. Metode tradisional pemeliharaan lebah stingless liar ini benar-benar menarik. Pentingnya penelitian ini adalah untuk menyoroti seni membesarkan lebah stingless oleh orang-orang suku Kani dan mengembangkan sebuah Metode peternakan lebah modern dengan memodifikasi teknologi yang ada. Madu yang dikumpulkan dari sarang ini dijual dengan harga yang baik. Suku Kani memelihara sarang ini di bawah atap rumah mereka. Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tepat dalam pemeliharaan lebah tradisional ini akan membantu menghasilkan jumlah madu yang memiliki nilai obat farmakologi yang tinggi sehingga masyarakat suku Kani dapat meningkatkan pendapatan mereka. ini akanmenjadi pilihanmata pencaharianyang baik bagi banyak masyarakat pedesaan. Sukupercaya bahwamadulebahstingless dapat menyembuhkanbanyak infeksidan merupakanmakananmenyapihuntuk bayi. Penelitian lebih lanjutterhadap khasiat pengobatan madu danpropolis yangdikumpulkan darisarang lebahiniakanmembantu untukmenemukan solusibagi banyakpenyakit.

Biologi Sarang Stingless bee/Lebah tanpa Sengatan (terjemahan bebas resensi artikel by David W.R)

11 Jul

Resensi Artikel

Biologi Sarang Stingless bee/Lebah tanpa Sengatan *

David W. Ra,b

a Smithsonian Tropical Research Institute, Apartado 0843-03092, Balboa, Ancón, Panamá, República de Panamá

b Unit 0948, APO AA 34002-0948, USA

Received 2 October 2005 – Revised 29 November 2005 – Accepted 23 December 2005

 

 

Abstrak-Sejak ditemukannya Cretaceous, lebah stingless memiliki jumlah spesies 50 kali lipat lebih banyak dibandingkan Apis, dan keduanya bersifat khusus dan beragam. Pengelompokan sarang secara garis besar berdasarkan 30 variabel namun kebanyakan tidak dijelaskan dengan rinci. Karakteristik dan arsitektur sarang mengurangi tingkat serangan, dan beragam genus besar memiliki kebiasaaan, arsitektur dan cara pertahanan berbeda. Densitas koloni lebah stingless alami berkisar 15-1500 km-2. Simbiosis di dalamnya meliputi tungau mycophagic, collembolan, kumbang leiodid, mutualist coccids, jamur, dan ricinuleid arachnids. Bakteri dan fungi yang saling menguntungkan menyediakan persediaan makanan dan indukan. Sekutu bagi sarang terdiri dari pohon-pohon, rayap, tawon dan koloni semut. Sirkulasi udara pada sarang menggunakan ventilasi, yang dibangun oleh lebah pekerja. Pada sarang lebah stingless permanen, dengan tingkat mortalitas 13% per tahun, hidup koloni yang bereproduksi selama 23 tahun. Ketidakmampuan lebah untuk berkerumun secara bebas, dan melakukan perkawinan tunggal mungkin meningkatkan, spesifikasi, kompetisi, simbiosis, dan cleptobiosis komunitas dalam sarang, di mana jarang terserang penyakit.

Meliponini / Apidae / nest architecture / nest microclimate / evolutionary ecology

 

“Dibalik pintu terdapat sebuah kota. Anggota masyarakatnya dinamis dan pekerja keras yang asal-usulnya berulang jutaan tahun–tahun-tahun evolusi yang persisten dan gradual. Jika alam diukur hanya dari baja dan api, maka dalam waktu singkat kota dan penduduknya tersebut akan hancur. Namun, jika ada kebaikan hati untuk untuk mempertahankan Kerajaan kecil ini, maka akan terwujud keajaiban untuk lebih memahami bumi dan isinya. Keberadaan sumber alam ini berada si tangan anda”.

P. Nogueira-Neto, 1970, diinterpretasi oleh penulis.

“Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, lebah madu bukanlah hewan domestik. Akan mungkin memeliharanya dalam sarang jika kita memahami sifat biologinya. Sarang lebah merupakan aplikasi pengetahuan kita tentang tingkah laku lebah”

R.A. Morse, 1994.

 

1. IKHTISAR

1.1. Sarang dan Diversitas

Lebah stingless telah berpopulasi pada daerah tropis selama lebih dari 65 juta tahun-lebih lama dari Apis, jenis lebah madu bersengat (Camargo and Pedro, 1992; Michener, 2000). Kedua kelompok lebah ini menghasilkan madu pada sarang tumbuhan purba yang ditemukan oleh segerombolan lebah pekerja steril dan seekor ratu, dan serentak koloni menghasilkan lebah jantan. Lebah stingless memiliki jumlah spesies 50x lebih banyak, dan ditekankan di sini, berbeda dari Apis dalam beberapa sifat biologis signifikan.

Meliponines tidak dapat bermigrasi. Tidak sama seperti lebah madu, cara mereka bertelur seperti lebah soliter, di mana telur-telurnya diletakan di atas bahan pakan dan disimpan dalam sel/kamar. Pada umumnya, koloni ini hanya menghasilkan sangat sedikit madu, sehingga memiliki nilai ekonomis rendah dibandingkan dengan lebah madu (lihat gambar A Online).

Berlawanan dengan Apis, Meliponines pada umumnya tidak memiliki sengat, satu kali kawin, tidak memerlukan air untuk mendinginkan sarang atau melumuri lilin untuk membangunnya, tidak dapat secara bebas berkerumun untuk bereproduksi (namun pertama-tama membuat tempat baru), dan

 

(Gambar 1. Peta distribusi dari dua pintu masuk sarang yang dibangun lebah pekerja Ptilotrigonalurida (Camargo, dari Camargo and Pedro, 2004).

 

Pejantan memperoleh makanan dari bunga, sementara ratu petelur tidak dapat terbang. Bermacam-macam akibat kawin tunggal pada lebah stingles, berlawanan dengan kawin jamak pada Apis, tidak dijelaskan di sini (lihat. Peters et al., 1999). Sebagai gantinya dijelaskan sifat ekologis dan evolusi di mana koloni lebah stingles hidup. Sarang adalah tempat pusat di mana lebah stingless kawin, bertelur dan melewati tahapan hidupnya. Sarang merupakan peralatan tetap yang tidak bergerak dan tidak berumur panjang, seperti pepohonan di hutan di mana Meliponines tinggal. Penyebaran (perubahan spasial) sumber koloni dan ‘sumber tekanan’ memiliki banyak arti, sehingga respons evolusi utama Meliponines terhadap faktor-faktor kritis yang mempengaruhinya dapat menjelaskan sifat biologis sarang mereka (Michener, 1974; Roubik, 1989; Nogueira-Neto, 1997; Camargo and Pedro, 2002a, b; Biesmeijer et al., 2005).

Publikasi data tentang sarang lebah dalam jangka waktu 3 abad (Schwarz, 1948) dan sintesis terbaru dilakukan oleh Michener (1961, 1974, 2000) Wille and Michener (1973), Sakagami (1982), Wille (1983), Roubik (1989), dan Nogueira-Neto (1997). Penelitian pada umumnya menggunakan lebah stingless Neotropical, karena secara garis besar tiga perempat spesies ini berasal dari Amerika (Camargo and Pedro, 1992).

 

1.2. Biologi Sarang

Karena sarang merupakan titik aktivitas lebah, contoh spektakuler arsitektur hewan, biologi sarang menjadi aspek nyata tertinggi dari karakter lebah stingless (Michener, 1974). Koloni lebah aktif setiap hari sehingga memiliki dampak tetap Siantar biota (Roubik, 1989; Hansell, 1993). Spesies individu dapat dikenali dari jalan masuk sarang dan sering menjadi tempat khusus-kebanyakan varietasnya berada. Madu dan pollen disimpan dalam ‘pot’ terpisah. Penyimpanan nektar atau madu matang dalam rongga-rongga sarang (untuk penyimpanan selama periode panjang musim bunga), sementara pollen dan beberapa madu mengelilingi area bertelur. Namun, lebah pencuri dari genus

Lestrimelitta dan Cleptotrigona mengumpulkan dan menyimpan beberapa madu campuran dan persediaan telur (Sakagami et al., 1993). Rongga untuk bertelur berbentuk bola, sedangkan tempat penyimpanan pakan berbentuk bola kecil hingga besar, atau berbentuk bulat telur, atau kerucut, atau silinder. Kebanyakan pot disusun dalam bentuk gumpalan aneh, sama seperti rongga untuk bertelur, mulai dari rongga individu dalam tiang hingga barisan ruangan dalam sisiran, terpisah oleh tiang-tiang (gamb. 3 dan gambar. A, C, I online).

 

(gambar 2. Jalan masuk sarang Partamona gregaria dan P. vicina dalam sarang rayap di samping gubuk (Amapá, Brazil) (Camargo, from Camargo andPedro, 2003).

 

Sarang yang dibangun oleh lebah stingless dan habitatnya (lokasi spesifik) dalam hutan (Kerr et al., 1967; Posey and Camargo, 1985; Camargo and Pedro, 2003) memiliki karakter, bahwa antara para pekerja, pejantan dan ratu berpotensi mengorganisir informasi biologis yang aplikatif di bidang penelitian, ekonomi, dan konservasi sumber-sumber penyerbukan dan madu. Saat ini penting untuk mengintensifkan analisis dan mengambil data, karena banyak daerah hutan alam tempat hidup ratusan spesies lebah stingless yang terdegradasi, terancam atau hilang.

 

1.3. Evolusi dan variabilitas sarang

Saat ini diperkirakan bahwa belum hampir separuh serangga Meliponine diketahui, dan hanya sedikit yang telah dipelajari. Inovasi arsitektural mungkin terjadi dalam taksonominya setelah terjadi divergensi dari nenek moyang mereka, dan pada saat yang sama, spesies-spesies lain yang tidak ada hubungannya berkonvergensi dengan mereka karena adanya kesamaan bahan pembentuk dan lokasi sarang (lihat tabel 1). Saat ini belum ada gambaran yang jelas bagaimana pengaruh lingkungan versus karakteristik preprogram lebah terhadap struktur sarang. Dalam rangka mempelajari sarang lebah stingless, saya menggunakan genus clades, yang terdiri dari beberapa lusin (lihat Camargo and Pedro, 1992; Michener, 2000; Camargo and Roubik, 2005). Pada tabel 1, tanpa daftar lengkap spesiesnya, terdapat bukti bahwa mayoritas karakteristik sarang dimiliki setiap spesies (lihat Kerr et al., 1967; Camargo, 1970; Wille and Michener, 1973; Roubik, 1979, 1983, 1992; Sakagami, 1982; Dollin et al., 1997; Camargo and Pedro, 2003). Karena sarang-sarang Meliponine menggabungkan sebagian kecil jenis bahan penyusun, fungsi, dan desain, maka terdapat kesulitan menentukan urutan filogenetis, seperti konstruksi sisiran, pada peralatan dalam sarang (lihat Wille, 1983; Michener, 2001). Penelitian lanjutan harus menunggu hingga filogeni tegap lebah stingless diperoleh

(Camargo and Roubik, 2005; Michener, 2000; Franck et al., 2004). Saat ini belum ada struktur fosil sarang atau ‘ichnofossils’ kelompok ini yang diketahui, sementara spesies dan genusnya bertambah. Artikel ini membahas diversitas biologis dalam lebah stingless dan meliputi pengamatan saya yang belum dipublikasikan. Contoh-contoh biologi sarang yang dipakai akan membantu untuk mengidentifikasi unsur-unsur seleksi alam yang membentuk sejarang sarang alami. Sekutu-sekutu sarang, perawatan dan pertahanan koloni, aktivitas mencari makan, reproduksi, dan ekologi komunitas lebah stingless sangat berhubungan dengan biologi sarang dari masing-masing spesies lebah stingless, dan menunggu untuk dipelajari.

Beberapa genus besar memberikan variasi tingkatan-spesies dalam habitat sarang, seperti yang disebabkan radiasi adaptif. Variasi besar terjadi, misalnya, pada genus Neotropikal, Plebeia. Lokasi dan arsitektur sarang meliputi kebiasaan-kebiasaan dalam sarang pada batang pohon, dalam lubang batu karang, dalam lubang buatan hewan, lubang batang (termasuk batang pohon) dan dalam sarang rayap. Beberapa Plebeia secara terus-menerus membangun tumpukan rongga untuk bertelur berbentuk-pancake yang dipisahkan oleh tiang-tiang dan membentuk sisiran berbentuk lingkaran, sama seperti yang dibuat kebanyakan lebah stingless, di mana spesies terkecil tidak membangun sisiran namun rantai rongga atau kluster yang rapuh (lihat gambar A Online). Austroplebeia membangun sisiran rapuh, mungkin merupakan sisiran lanjutan (Michener, 1961). Ukuran lebah tampaknya menentukan, karena pada Meloponini berukuran kecil, rongga –rongga kluster merupakan aturan arsitektural dalam filogenitas berbagai lebah (Michener, 2001). Pada Melipona, Plebeia, Plebeina, Nannotrigona, Trigona and Tetragona, bentuk sisiran yang rapuh atau spiral Como kadang-kadang dibangun oleh koloni yang sama pada waktu yang berbeda (pers.obs). perbedaan yang nyata dapat terjadi secara geografis, seperti terlihat pada gambar jalan masuk sarang lebah Amazon Ptilotrigona lurida (Camargo and Pedro, 2004; gambar 1). Variasi arsitektur individual, dalam elaborasi jalan masuk sarang (Wille, 1983; Sakagami et al., 1983;Melo, 1996) atau ketebalan resin yang menutupi bagian dalam sarang, berhubungan dengan (1) umur sarang, (2) genetika lebah, dan atau lingkungan mikro, meliputi predator, parasit, simbiont, hujan, angin, dan matahari. Salah satu penelitian menunjukan bahwa arsitektur sarang tidak bervariasi dalam divergensi populasinya, yang diperoleh dengan hypervariablemicrosatellite DNA in pada lebah Australia Tetragonula (Franck et al., 2004). Walaupun hanya terdapat sedikit kesepahaman tentang bagaimana variasi arsitektur-mikro dapat disesuaikan, pada beberapa kasus, teknik konstruksi sarang dapat berhubungan dengan batas-batas. Misalnya, aktivitas mencari makan Melipona, dan pekerja pada konstruksi sarang mereka, kerikil-kerikil kecil dan bebatuan. Bahan-bahan pembangunan sarang Meliponine bahkan tidak dapat diangkut oleh kebanyakan lebah stingless.

 

Tabel I. Variabel-variabel biologi sarang lebah stingless, dan terminologi. Karena kebanyakan spesies tidak terdokumentasi dalam tabel ini, dan variasi antar genusnya kurang jelas, maka daftar genus tidak rinci dan tidak merepresentasikan setiap spesies dalam satu genus. Referensi selengkapnya berada pada penulis.

  1. Pekerja agresif bertahan: Duckeola, Heterotrigona, Hypotrigona, Lophotrigona, Melipona, Oxytrigona, Paratrigona, Partamona, Plebeia, Ptilotrigona, Scaptotrigona, Tetragona, Tetragonisca, Tetragonula, Trigona
  2. Sarang yang tidak terlindung: Dactylurina, Partamona, Plebeia, Trigona, Tetragonisca
  3. Skutu rayap, semut atau koloni tawon: Aparatrigona, Paratrigona, Partamona, Plebeia, Scaura, Schwarzula, Sundatrigona, Trigona
  4. Sarang di bawah tanah atau non-punjung, lubang alami; Geotrigona, Lestrimelitta, Melipona, Meliponula, Mourella, Nogueirapis, Paratrigona, Pariotrigona, Partamona, Plebeia, Plebeina, Ptilotrigona, Scaptotrigona, Schwarziana, Tetragonisca, Trigona
  5. Tahan terhadap bahan kimia yang mengganggu: Oxytrigona, Melipona
  6. Jalan masuk fleksibel dan atau jalan keluar nocturnal: Friesella, Meliponula, Nannotrigona, Pariotrigona, Plebeia, Scaptotrigona, Scaura, Schwarziana, Trigona
  7. Tiang-tiang sepanjang beberapa sisiran: Partamona
  8. Pelat batumen berventilasi; Melipona, Plebeia
  9. Jalan masuk multipel; Lepidotrigona, Plebeia, Scaptotrigona, Tetragona
  10. Kumpulan sarang berisi spesies Meliponine yang sama dan berbeda: Hypotrigona, Melipona, Partamona, Plebeia,Tetragonula, Scaura, Schwarzula
  11. Jalan masuk buta; Lestrimelitta, Partamona
  12. Tabung drainase atau pembuangan limbah cair: Geotrigona, Meliponula, Mourella, Schwarzula, Tetragona, Trigona
  13. Pot penyimpanan besar, berbentuk silinder, bola, kerucut, memanjang, bulat telur, dan tidak sama dengan rongga untuk bertelur: Cephalotrigona, Duckeola, Frieseomelitta, Geotrigona, Melipona, Meliponula, Tetragona, Tetragonisca
  14. Queen cell: berukuran sama dengan pekerja dan pejantan, tidak dibangun di tepi sisiran: Melipona
  15. Konstruksi rongga: synchronous, Frieseomelitta, Lepidotrigona, Lestrimelitta, Nannotrigona, Paratrigona, Plebeia
  16. Perubahan rongga untuk bertelur: tidak dibuat dalam sisiran horizontal rongga tertutup: Dactylurina, Friesella, Frieseomelitta, Hypotrigona, Leurotrigona, Lisotrigona, Plebeia, Scaura, Tetragonula (Australian-Papuan), Trigonisca
  17. Penelitian: leiodid atau kumbang lainnya, collembolans, coccids, tungau, beragam invertebrata, fungi: semua genus mikroba (kualitatif)?
  18. Sampah, resin resin ball, timbunan lilin (kualitatif dan kuantitatif): semua genus
  19. Sarang palsu atau vestibule: Partamona, Plebeia
  20. Rongga penjara: Friesella, Frieseomelitta, Plebeia, Schwarziana, Tetragonisca
  21. Oviposition – tunggal atau jamak; multiple fronts: Geotrigona, Lestrimelitta, Melipona, Meliponula, Nannotrigona, Scaptotrigona, Trigona
  22. Nama lokal dan spesifikasi (sarang, nilai obat-obatan, makanan, fermentasi minimum, dupa, musuh alami, melarikan diri atau bertahan)
  23. Ketinggian dan arah jalan masuk dari atas tanah (kuantitatif dan kualitatif)
  24. Penyimpanan pollen: dengan lumpur, atau kering; Ptilotrigona
  25. Konsentrasi gula pada madu, sifat-sifat kimia (kualitatif dan kuantitatif)
  26. Akumulasi Fecal pollen atau scutellum: Cephalotrigona, Trigona
  27. Penggunaan resin yang lengket di luar jalan masuk sarang, pada substrat atau tabung: Lepidotrigona, Scaura, Tetragona, Tetragonula, Trigonisca
  28. Bahan kayu pembentuk sarang: Trigona
  29. Jalan masuk sarang yang samar (tidak ada lorong, kecil); Austroplebeia, Celetrigona, Dolichotrigona, Friesella, Geotrigona, Hypotrigona, Leurotrigona, Liotrigona, Lisotrigona, Melipona, Meliponula,Mourella, Paratrigona, Plebeia, Schwarziana, Schwarzula, Trigonisca
  30. Lebah penjaga sarang yang melayang-layang; Lestrimelitta, Tetragona, Tetragonisca

 

* Terms coined for stingless bee nests are in Michener (1961),Wille and Michener (1973), Sakagami (1983) or noted below. Cluster nest: brood and food cells arranged in connected chains; cerumen: wax and plant resin mixed for pliable construction material; involucrum: a single or series of sheaths, made of cerumen, surrounding brood; batumen: thick involucrum forming a wall, or resin layer surfacing nest cavity (mud, seeds, wood, vertebrate feces may be added); pillars: cerumen used as anchors of nest elements; entrancetube: passageway connecting colony with outside; storage pots: containers of cerumen, sometimes nearly wax; scutellum: hard, thick outer nest structure (Nogueira-Neto, 1997); imprisonment chamber: cerumen cell attached to the nest wall, with small holes (Drumond et al., 1995); queen cell: generally on Como margin and larger than others, for all but Melipona; advancing front: area (s) of comb where new cells are being constructed; exposed nest: nest not contained in cavity; bottleneck: small tube leading into brood area (Camargo and Pedro, 2003); false nest, vestibule: area near entrance containing empty pots or cells (Camargo and Pedro, 2003); resin deposit: small mound of resin on nest floor or wall; wax deposit: similar to resin deposit; entrance tubercles: hollow finger-like projections; paper nest: outer nest covering made mostly of wood pulp (Roubik, 1989); advancing front: open brood cells, which can be made either synchronously (all at the same stage of completion) or continuously (at all stages at any time).

 

Terdapat satu sifat khusus, sisiran vertikal dengan rongga-rongga horizontal, ditemukan dua kali. Mereka ditemukan pada genus Neotropis, Scaura (Nogueira-Neto, 1997) dan genus Afrotropis, Dactylurina (Darchen, 1972), dan hanya pada satu dari lima spesies yang dijelaskan sebelumnya (tab.1).

 

2. BENTUK-BENTUK PERTAHANAN DAN PENCARIAN PAKAN

2.1. Bentuk Pertahanan sarang

Lokasi dan arsitektur sarang koloni lebah stingless menggabungkan antara bahan-bahan pembentuk sarang, lokasi sarang dan perlawanan dengan profil koloni yang samar. Pemburu madu, baik primata maupun vertebrata lainnya, menggunakan pintu masuk sarang, dengan pendengaran dan penglihatan terhadap adanya lebah, untuk menempatkan koloni lebah stingless. Dalam suat penelitian terhadap lebih dari 200 sarang di Uganda, predator sarang (umumnya simpanse dan manusia) kebanyakan mempengaruhi koloni dalam pohon dengan ketinggian dibawah 7 meter (Kajobe and Roubik, 2006). Namun, lebah stingless dengan koloni besar, dan biasanya menjadi konsumsi para predator, juga membuat sarang dalam tanah, pada kedalaman sekitar 20 sd 200 cm (pers. obs., lihat Tab. I).

Karakter pertahanan lebah, seperti menyerang atau melarikan diri, serta arsitektur internal sarang dapat dipelajari hanya jika sarang dibuka. Namun, respons pertahanan terhadap predator berukuran kecil, seperti serangga yang menangkap lebah dengan sarangnya, jarang dipelajari. Pada penelitian terhadap 40 spesies koloni Panama, sebagian menunjukan tidak tampak karakter pertahanan pada pengamatan (Roubik, 1983). Lebah menjadi takut jika didekati, dan melarikan diri dari pintu masuk. Lebah stingless penjaga mungkin cenderung menyeleksi spesies yang lebih ramah, namun tidak pada kasus ini, karena sebagian telah dikenal di Brazil mampu mempertahankan sarang dari vertebrata besar (lihat Nogueira-Neto, 1970). Beberapa spesies bersifat agresif dan menyerang secara sembunyi-sembunyi, menempelkan resin yang dibawa pada mandibula atau kaki belakangnya. Pada ‘lebah api’, Oxytrigona, dan beberapa lainnya (Melipona rufiventris di Bolivia, Stierlin, pers. comm.), sekresi bahan aktif, yang mengandung asam format pada awalnya, terjadi (Michener, 2000). Lebah-lebah dari sarang Meliponine ini mengeluarkan aroma dari sekresi kelenjar mandibular dan tampaknya menjalar ke rambut, telinga, mata dan mulut, dan menghasilkan suara-suara yang mengganggu. Berdasarkan penjelasan ini, kebanyakan sarang yang terbuka dan gampang diserang predator memiliki pekerja-pekerja bertahan yang agresif, tanpa mempertimbangkan ukuran lebah dan filogenitasnya (bagian 2.3). Pengecualian dapat dilihat pada genus Dactylurina di Afrika (Eardley, 2004), yang memiliki sarang terbuka namun kurang memiliki karakter pertahanan yang agresif (Darchen, 1972). Lebih lanjut, koloni-koloni yang tampaknya terlindung dengan baik, di dalam batang pohon berukuran beberapa cm dan memiliki pintu masuk sarang yang kecil, dapat bersifat agresif maupun takut-takut (Bagian 2.3, 2.6).

Lebah-lebah bertahan biasanya datang dari area pintu masuk dan sarang-sarangnya memiliki bentuk arsitektur yang memungkinkan mereka berkerumun (Tab. I; Gamb. 1, 2 and Gamb. B–F, I online). Strategi-strategi pertahanan termasuk bahan kimia penanda bahaya/alarm dari kelenjar mandibular, dikeluarkan ke udara di dalam dan di luar sarang (Smith and Roubik, 1983; ringkasan dari Roubik, 1989;Wittmann et al., 1990). Lebah penjaga melayang-layang kemudian keluar, menghadap pintu masuk sarang, dan menuju udara bebas di mana tidak terdapat sekutu sarang, atau langsung menyerang hewan-hewan yang lebih besar, yang melarikan diri dari serangan lebah-lebah bertahan. Sangat sedikit spesies, misalnya Tetragonisca angustula dan Tetragona clavipes, secara tetap mempertahankan lebah penjaga di luar sarang. Lebah ‘penjaga’ yang melayang-layang dapat menghalau lebah pencuri, Lestrimelitta (Wittmann et al., 1990), atau melawan keroyokan individu dari koloni-koloni Meliponine lannya (Sakagami et al.,1993; Sect. 5.2).

 

2.2. Bahan-bahan untuk pertahanan

Kegiatan utama lebah-lebah yang tidak mencari makan di dekat pintu masuk sarang mereka adalah mencegah masuknya serang-serangga kecil, termasuk parasit, dan menambahkan resin segar pada jalan masuk eksternal sarang, yang mungkin akan menghalangi semut (lihat gamb. L Online). Sifat kimia dan pemilihan resin serangga sebagai penolak musuh alami belum dipelajari, walaupun sifat-sifat antibakterial dari resin-resin telah diketahui (Lokvam and Braddock, 1999; Langenheim, 2003). Symphoniaglobulifera (Clusiaceae) menghasilkan sumber resin terus-menerus setiap harinya dan mencadi pertahanan beberapa sekutu sarang Trigona fulviventris (pers. obs.). Bahan-bahan resin yang dihasilkan Centris betina pada rongga-rongga terminal sarang digunakan oleh individu atau kelompok kecil lebah agresif Trigona fuscipennis dan T. Muzoensis di Panama (pers. obs.). Sumber-sumber resin pada umumnya adalah luka pada pohon-pohon, dan mereka biasanya dikunjungi beberapa spesies, termasuk lebah predator, beberapa diantaranya lebah stingless palsu/peniru lebah stingless (Roubik, 1989).

Lubang-lubang pada sarang dengan semprotan tetesan resin terus-menerus, sedalam beberapa cm dari pintu masuk, beberapa diantaranya dapat ditemukan pada batang dengan koloni sarang Afrika Meliponula ferruginea (lihat gamb. I online only), sarang neotropis Trigonisca dan Geniotrigona thoracica di Asia. Penggunaan resin untuk mengimobilisasi lebah-lebah besar dalam sarang telah didokumentasikan dengan baik (Nogueira- Neto, 1997). Resin biasanya menempel pada rambut predator, dan digunakan bagi objek yang dekat dengan pintu masuk sarang.

Pada lebah Melipona panamica dan Melipona lainnya, bola-bola resin yang keras ditambal dengan longgar pada pintu masuk; jika dibutuhkan, bola-bola tersebut digulingkan ke dalam rongga, dan ditambal bersama dengan resin sehingga menghalangi pintu masuk dari serbuan (pers. Obs); bola-bola resin akan terakumulasi pada sarang yang lebih tua di daerah asal mereka (lihat gamb B Online). Madu telah dipelajari sebagai bahan pertahanan oleh spesies kecil Hypotrigonabraunsi di Africa (Portugal-Araújo, 1958; Michener, 1959).

Beberapa lebah stingless membangun dinding pertahanan yang cukup tebal untuk sehingga rongga-rongga terbuka dalam sarang dapat digunakan; mereka adalah Melipona, Cephalotrigona dan Meliponulabocandei (Portugal-Araújo, 1955; Roubik,1983). Seperti dijelaskan di atas, Melipona menggunakan batu-batu kecil. Batumen koloni, memisahkan sarang dari lingkungan luar, mungkin dibangun setebal 10cm dengan batu, lumpur dan resin yang dicampur oleh Melipona (lihat gamb B Online). Tampaknya, Para pekerja Melipona memiliki kebiasaan unik mengamati keadaan di luar dan di pinggiran sarang, terhadap ancaman dari luar atau hal-hal yang mencurigakan, kemudian memasukan bahan-bahan di dalamnya (lihat gamb D Online). Ramirez (1996, pers. comm.) mencatat bahwa pekerja Trigona corvina memotong tanting dan memindahkan dedaunan dari depan jalan masuk sarang.

2.3. Sistem pertahanan luar sarang

Terdapat sarang-sarang yang seluruhnya atau sebagiannya dibangun dalam sarang atau substrat-substrat keras oleh lebah agresif Trigona, Tetragonula, Tetragonisca, Partamona, Paratrigona dan Plebeia. Banyak spesies yang tidak agresif, termasuk genus yang telah disebutkan di atas, bersarang dalam pohon hidup, namun sarang-sarang terbuka ini memiliki lapisan luar sarang yang lembut, dan para pekerjanya dapat secara langsung menyerang dari luar lubang sarang yang rusak, kemudian menggigit. Kebiasaan menggigit sebagai pertahanaan melawan vertebrata ini tidak ada hubungannya dengan ukuran lebah. Tetragonula fuscobalteata merupakan lebah stingless teragresif dan terkecil de Asia Tenggara. Koloni-koloni agresif dapat berkumpul dalam satu batang pohon palem (pers. obs., Brunei), di mana koloni sarang dalam pohon, seolah-olah berasal dari satu spesies, tidak agresif (Sakagami et al., 1983, Peninsular Malaysia). Lebah kecil Plebeia minima membangun sarangnya dalam lingkaran pohon palem (Bactris dan Astrocaryum), kadang-kadang dalam kumpulan kecil, dan para pekerjanya memiliki respons menggigit yang cepat bila diganggu (Roubik, 1983). Lebah agresif serupa Tetragonisca weyrauchi membangun sarang terbuka (Rasmussen, pers. comm.; Cortopassi-Laurino and Nogueira-Neto, 2003).

Struktur pertahanan Meliponine yang penting adalah ‘scutellum nest’ spesies neotropis Trigona. Pertahanan yang keras dan tebal ini dibangun dalam sarang terbuka Trigona (Nogueira-Neto, 1962), spesies hypogeous T. Fulviventris (Roubik, 1983), dan merupakan sebuah perisai perlindungan yang luas (Wille, 1983). Nogueira-Neto (1962) mencatat bahwa scutellum sebagian besar dibuat dari kotoran lebah. Setelah melakukan analisis mikroskopis, Roubik dan Moreno (pers. Obs.) menemukan bahwa scutellum Trigona corvina, dengan ketebalan setengah meter, dibuat dari kotoran sisa hasil metabolisme pollen yang dimakan oleh lebah. Kebanyakan sarang dikelilingi oleh lapisan batimen yang tipis, di mana lapisan luar scutellum gampang dihancurkan oleh predator, sehingga pada saat serangan akan menjadi tempat keluarnya banyak lebah pertahanan ke permukaan sarang. Pada sarang-sarang serupa, spesies T. Spinipes membuka lubang dalam lapisan luar sarang sebagai respons terhadap suhu dan berfungsi sebagai ventilasi (Sakagami and Zucchi, 1972, dalam Sakagami,1982), dengan demikian lapisan tipis sarang dapat memiliki lebih dari satu fungsi.

 

2.4 Platform pintu masuk sarang

Pintu masuk sarang lebah stingless sederhana menonjol keluar dari dasar lubang pintu masuk. Pintu masuk sarang tidak hanya brhubungan dengan sistem pertahanan dan cara mencari pakan (Biesmeijer et al., 2005), namun juga dengan sifat-sifat fisikokimia, seperti dibahas berikut. Pintu masuk sarang yang kecil atau tidak beraturan terlihat samar (lihat gambat F Online), dan biasanya merupakan satu-satunya jalan menuju tempat lebah pertahanan dewasa. Lorong sempit ini dapat ditutupi dengan resin atau cerumen, atau dibungkus dari luar dengan setetes resin segar yang akan menghentikan serangan penyusup seperti semut (Wittmann, 1989; Camargo, 1984, lihat gamb. I online only). Spesies yang lebih besar, seperti Melipona, Cephalotrigona dan Scaptotrigona (lihat gamb. B online only) juga membangun lorong pintu masuk internal yang panjang dan atau luas, yang merupakan tempat lebah pencari makan, lebah pembuat ventilasi atau lebah pertahanan. Selain itu, di dalam sebuah ruangan kecil dalam pintu masuk sarang Partamona (Camargo and Pedro, 2003), sering terdapat pot-pot penyimpanan atau bertelur yang kosong sebagai umpan (gamb 2), yang akan membingungkan dan menghentikan predator yang masuk, seperti trenggiling lidah panjang, Tamandua. Beberapa spesies Partamona, seperti P. pearsoni dan P.peckolti juga memiliki ruang bertelur yang semua jalan masuknya tertutup oleh lorong masuk lapisan kedua berbentuk ‘leher botol’ (Camargo and Pedro, 2003; gambar. C Online only).

Pintu masuk sarang terbesar dibuat oleh spesies Trigona, Tetragona, and Scaptotrigona tertentu di wilayah tropis Amerika (lihat gamb B Online) dan spesies Homotrigona dan Geniotrigona di Asia. Beberapa diantaranya spesies yang agresif, dan dapat ditiru oleh lebah defensif lainnya dalam hutan yang sama. Contohnya, Trigona fuscipennis danT. Necrophaga yang memiliki struktur besar pintu masuk sarang yang sama, namun T.necrophaga tidak memiliki sistem pertahanan sarang yang agresif, dan hubungan paralel dapat dilihat antara Trigona crassipes dan T.fulviventris, yang membangun lorong pintu masuk yang panjang dan mengandung resin (lihat Roubik, 1979, 1983; Camargo and Roubik, 1991).

Lebah-lebah meliponine Afrika dan Australia tidak memiliki pintu masuk yang besar dan menyolok. Sebaliknya, lebah terbesar Asia Tenggara, Geniotrogonathoracica dan Homotrigona fimbriata memiliki pintu masuk sederhana, yang membuat tubuh besar mereka (berat beberapa kg dan panjang 50cm) sering jatuh dari atas pohon (Roubik, 1993 and pers. obs.; Roubik et al., 2005). Lebah-lebah besar ini tidak memiliki desain interior atau lorong pada pintu masuk, dan tidak memiliki sistem pertahanan sarang agresif. Jalan masuk sarang yang berbentuk sangat panjang dan ramping buatan spesies neotropikal T.cilipes, spesies asia T.collina, dan spesies sejenis, dibuat dengan cara menempelkan resin segar pada lorong masuk (pers. obs.; lihat gamb. I online only). Sebaliknya, lebah Asia agresif (terhadap manusia) Heterotrigonacanifrons dan H. itama (Sakagami et al., 1983) membangun lorong pintu masuk sarang yang relatif kecil.

 

2.5. Perbaikan pintu masuk sarang

Para lebah pekerja pertahanan dari meliponine-moliponine berbedamenutup bagian luar pintu masuk sarang pada malam hari, biasanya dilengkapi dengan ‘tirai’ yang terbuat dari lapisan longgar knit (terbuat dari resin dan cerumen) yang menutupi pintu masuk sarang. Hal ini menunjukan bahwa resin atau rintangan saja sangat efektif melawan parasit-parasit kecil (sect 4.6) atau semut.

Walaupun pintu masuk sarang yang besar merupakan area yang terletak diantara ruang penyimpanan pakan dan ruang pertahanan, jalan masuk sarang yang rumut atau lubang pintu keluar yang besar tidaklah efektif untuk mencegah serangan musuh alami lebah yang kecil- biasanya berada dalam sarang- atau serangan vertebrata perampok yang agresif dari luar. Dilengkapi dengan feromon yang berfungsi sebagai alarm, lebah-lebah dapat beriringan keluar sarang, seperti spesies  Meliponapanamica (pers. obs.), dan ukuran pintu masuk sarang tidak berhubungan dengan lalu-lintas para lebah pencari pakan yang intensif (Roubik et al., 1986). Namun, saat ini, analisis terhadap aktivitas pencarian pakan dan ukuran pintu masuk sarang menunjukan korelasi positif (Biesmeijer et al., pers. comm.). Pintu masuk sarang kebanyakan Partamona dibangun seperti bentuk sarung tangan baseball (Camargo and Pedro, 2003; Fig. 2), sehingga gelombang besar pergerakan lebah pencari pakan yang masuk maupun lebah pertahanan yang keluar dapat terakomodasi, namun hanya terdapat lubang kecil pada dasar ‘lorong’.

(Gambar 3. Galeri sarang Schwarzula coccidophila dan simbioannya coccid (Hemiptera) Cryptosternum,serangga-serangga kecil yang menghasilkan lilin untuk digunakan lebah membangun sarang (Camargo and Pedro, 2002b,Camargo (Copyrighted 2002 by the Association forTropical Biology, P.O. Box 1897, Lawrence, KS66044-8897. Reprinted by permission)).

 

Pintu masuk sarang lebah Meksiko Lestrimelitta niitkib didesain untuk lalu-lintas lebah yang padat (lihat gamb F Online). Pintu masuk sarang tunggal terbesar lebah stingless dibuat oleh lebah agresif

Trigonasilvestriana (syn. truculenta), di Peruvian Amazon (lihat gamb. C online only). Struktur sarang spesies meliponine lainnya Geniotrigona thoracica (pers. obs.) kecuali T. Silvestriana, berupa lorong dari resin yang keras, sepanjang hampir 1 m dengan diameter 10cm, dengan berlapis-lapis resin keras di sepanjang sumbu di dalamnya, membentuk area permukaan yang besar tempay banyak lebah berkumpul. (lihat gamb E Online)

Lestrimelitta (lihat gamb F Online) dan lebah agresif Partamona membangun lorong cekung atau ‘tubercles’ disepanjang eksterior pintu masuk sarang. Lestrimelitta merupakan lebah yang tidak agresif dalam sarang terhadap predator vertebrata. Namun, lebah-lebah perampok secara rutin bertarung dengan koloni-koloni saingannya (Sakagami et al., 1993), dan persaingan dapat dipersingkat dengan pertarungan keras yang sangat menentukan. Lorong-lorong buta merupakan sistem pertahanan bagi keduanya. Kemampuan beradaptasi mereka benrtujuan untuk menambah area permukaan untuk lebah-lebah pertahanan, dan pintu masuk largebore, suatu lorong pintu masuk sarang bagi para lebah pencari pakan, lebah, ventilator dan lebah pertahanan, atau platform ganda dan lubang keluar pada lorong, misalnya yang dibangun oleh Tetragona clavipes (Roubik, 1979). Hancurnya tubercles Partamona akan melepaskan kawanan lebah pertahanan. Lebah Asia Tetragonula pagdeniformis (lihat gamb. E online only) memiliki struktur resin seperti-akar pada pintu masuk sarang eksternal, sangat mirip dengan yang dimiliki spesies neotropis Tetragona dorsalis (Roubik, 1979), yang fungsinya telah diketahui. Beberapa struktur pintu masuk sarang seperti-akar gantung dari T. corvina, T. spinipes, T.amazonensis dan lebah agresif lainnya, lebah neotropis Trigona, dan Ptilotrigona (Camargo and Pedro, 2004; gamb. 1) juga memberikan posisi bagi lebah pertahanan. Walaupun lapisan luar sarang dan lorong-lorong buta telah diteliti sebagai tempat untuk membuang sampah (Rau, in Nogueira-Neto, 1948) dan sekat (Drumond et al., 1995), fungsi utama mereka adalah pertahanan.

 

2.6. Perlindungan kelompok

Agregasi/pengelompokan koloni terjadi pada bahan-bahan alami dan buatan, termasuk dinding dan atap gubuk atau bangunan. Bahan-bahan alami meliputi karang-karang terjal atau timbunan ranting. Substrat hewani yang paling banyak digunakan adalah sarang rayap – sarang terbuka, bawah tanah atau di dalam batang pohon. Camargo dan Pedro (2003) mencatat Syntermes,Nasutitermes, Amitermes, Constrictotermes, dan Termes sebagai rumah di daerah neotropis, disamping timbunan besar puing-puing sarang yang dikelilingi oleh satu koloni semut attine. Beberapa agregasi membentuk kelompok yang dapat bertahan melawan predator-predator besar. Gangguan langsung, dibandingkan pelepasan feromon alarm yang terdispersi di udara, menimbulkan serangan multikoloni terhadap Partamona peckolti (Roubik, 1983). Sejumlah spesies dari genus ini bersifat defensif/bertahan (see Camargo and Pedro, 2003). Kelompok bertahan terjadi pada meliponine-moliponine kecil seperti Hypotrigona (Kajobe, pers. comm.; Michener, 1959) dan Tetragoniscaweyrauchi, tapi tidak pada Tetragonula atau Heterotrigona Asia (Starr and Sakagami, 1987) atau Scaura tenuis (see Kerr et al., 1967), yang berkelompok.

 

3. KEADAAN, BAHAN-BAHAN, DAN PERAWATAN SARANG

3.1. Lingkungan internal sarang

Dalam sarang tertutup lebah stingless, keadaan cenderung stabil, namun tunduk pada siklus harian. Ventilasi telah dipelajari oleh Nogueira-Neto (1948) dan baru-baru ini oleh Moritz dan Crewe (1988, lihat gamb. H online only). Sarang ‘bernafas’ melalui aliran masuk keluarnya gas secara terus-menerus, walaupun lorong pintu masuk merupakan satu-satunya hubungan dengan daerah luar. Sirkulasi dilengkapi oleh kepakan sayap lebah-lebah pekerja ketika mereka masuk-keluar pintu. Variasi jumlah jalan masuk sarang (beberapa Plebeia dan spesies lainnya memiliki sekitar dua atau tiga lubang jalan masuk) diamati menggunakan percobaan pengasapan, menunjukan bahwa udara dalam sarang dapat keluar dari satu lubang dan masuk ke lubang lainnya (Nogueira-Neto, 1948). Namun, udara yang mengalir dalam sarang, bersirkulasi, kemudian keluar secara berulang-ulang, bergantung pada sifat-sifat fisik sarang, total koloni yang hidup, dan lubang/rongga sarang. Suatu ‘gelombang volume’ dapat dihitung pada dua lebah stingless Afrika, satu bersarang dalam tanah dan lainnya dalam batang pohon. Peredaran udara oleh lebah pekerja mengganti seluruh udara dalam sarang setiap 1-7jam (Moritz and Crewe, 1988).

Narkosis/pembiusan karbondioksida serta suhu tinggi kritis (>35.5oC) merupakan masalah bagi lebah stingless Afrika seperti yang dipelajari oleh Moritz dan Crewe (1988). Ketika suhu dekat sarang dalam tanah meningkat tajam (lihat gamb. H Online), aliran udara dapat meningkatkan suhu sarang ke tingkat fatal, sehingga peredaran udara dipengaruhi oleh naik-turunnya suhu, untuk mempertahankan udara tetap dingin dalam rongga sarang. Tingkat oksigen menurun tajam, dan CO2 meningkat sepanjang siang hari, sehingga CO2 hanya dapat direduksi melalui kepakan sayap lebah pada malam hari. Walaupun perubahan suhu dalam sarang pada batang pohon minimal terjadi, sarang pada pohon maupun dalam tanah memperlihatkan terjadinya gradien suhu. Suhu letal letal mencapai 46 ◦C untuk Tetragonula carbonaria (Amano, 2005) dan 41 ◦C untuk Scaptotrigonapostica (Macieiera and Proni, 2004).

 

3.2. Area pengeraman dan involukrum

Area pengeraman membentuk inti termal dalam sarang lebah stingless, di mana panas dapat tersimpan di dalam (atau di luar) oleh involukra konsentris. Telah lama dispekulasikan bahwa lapisan-lapisan involukrum yang mengelilingi telur menyebabkan panas tertahan di sana (reviews by Nogueira-Neto, 1948; Kerr et al., 1967). Bukti-bukti tidak langsung menunjukan bahwa Melipona dapat membangun involukrum (lihat gamb. G Online) pada iklim yang lebih dingin daripada iklim di hutan-hutan ekuatorial (Engels et al, 1995); namun, suat koloni yang kelaparan akan membangun sedikit involukrum (Kolmes and Sommeijer, 1992). Penelitian terhadap sarang Melipona (Roubik and Peralta, 1983) menunjukan bahwa dua spesies, masing-masing dengan involukrum, secara aktif dan atau pasif (melalui arsitektur sarang) mengontrol suhu dalam area pengeraman pada sarang. Penelitian terbaru dengan Tetragoniscaweyrauchi (Cortopassi-Laurino and Nogueira- Neto, 2003) menunjukan dinamika serupa, dengan tambahan inovasi arsitektural, sebuah ‘respiracle/lubang pernafasan’ atau bukaan fakultatif pada bagian atas sarang. Karena pengeraman terjadi pada suhu lebih dari 31oC, maka jika suhu menurun maka panas dari tubuh lebah, khususnya lebah dewasa yang berada diantara sisiran tempat pengeraman, bertanggungjawab untuk memanaskan area pengeraman. Pada umumnya, ‘social thermoregulation/aturan panas sosial’ dapat atau tidak dibutuhkan, karena suhu sarang tidak persis dikontrol dan lebah-lebah kelihatannya lebih toleran dengan udara dingin, setidaknya pada beberapa genus (Engels et al., 1995; Drumond et al., 1995).

Involukrum juga merupakan sebuah palang, dari dedaunan dan pelepah kering yang terletak di luar area pengeraman (biasanya 2-5) dan sebuah labirin masuk serta lalu lintas yang mengelilingi telur-telur (lihat gamb K Online). Dengan demikian, sarung involukral dapat digunakan untuk mencegah akses langsung ke area pengeraman, khususnya sel-sel pengeraman yang terbuka, dari parasit seperti phorid (Pseudohypocera), stratiomyid (Hermetia illucens), serta lalat, semut, atau lebah-lebah stingless perampok (Lestrimelitta and Cleptotrigona), dan kemungkinan ngengat Achroia grisella (Cepeda-Aponte et al., 2002).

 

3.3. Keragaman sifat, bahan material dan kebersihan

Hembusan angin sepanjang siang atau malam hari dipengaruhi oleh produksi madu (Nogueira- Neto, 1948). Fakta bahwa lebah stingless menggunakan nektar yang mengandung 65% air, dan mengkonversinya menjadi madu yang mengandung 30% air (Roubik, 1989; Roubik et al., 1995) berarti bahwa embun harus dihilangkan dari sarang. Piringan batumen yang besar memiliki beberapa rongga udara, yang dibuat oleh Melipona dan beberapa Plebeia (Nogueira-Neto, 1948; Roubik, 1979, pers.obs.) kelihatannya ideal untuk mengurangi kadar air. Namun, seperti dijelaskan sebelumnya, kehilangan CO2 penting artinya, dan bentuk-bentuk jalan masuk sarang lainnya meliputi area permukaan dan bukaan-bukaan yang mendukung kepakan sayap lebah. Air biasanya diangkut oleh lebah pekerja (diminum) dan dibuan dari area jalan masuk sarang, kadang kala meninggalkan bekas basah dekat rongga-rongga sarang (lihat gamb H Online). Selain itu, kakus dibangun di dalam sarang, di mana beberapa simbion hidup (Sect 4.5).

Jalan keluar pembuangan dipertahankan dalam sarang oleh lebah-lebah stingless di bawah tanah, seperti Meliponula dan Plebeina, dan dalam sarang pohon spesies Trigona dan Tetragona, plus sarang dalam tanah eksklusif Geotrigona (Portugal-Araújo, 1955; Sakagami, 1982; Camargo and Wittmann, 1989; Camargo and Roubik, 1991; summary in Camargo and Moure, 1996). Rongga-rongga sarang tidak dibangun oleh lebah, biasanya ditinggalkan oleh koloni-koloni Atta di daerah neotropik atau rayap di Afrika, dan dimodifikasi sehingga air dapat dikeluarkan. Sarang dari beberapa koloni bawah tanah diletakan tepat dibawah horison tanah dari bahan-bahan yang mudah keluar airnya (lihat gamb F Online) sistem sehingga pembuangan sarang dari hujan atau air hasil pemasakan madu tidak menjadi masalah berarti (Camargo and Wittmann, 1989).

Sekat yang dibuat dari kayu dan resin, tanah, batuan, atau bahan-bahan pembentuk sarang lainnya, mencegah koloni kepanasan, sehingga menyebabkan sarang tidak terkena sinar berlebihan dan tidak terlalu banyak lebah mengepakan sayap pada saat suhu sangat tinggi. Seperti ditunjukan oleh Moritz dan Crewe (1988) gelombang aliran udara dapat menyebabkan udara eksternal yang panas masuk ke dalam sarang. Dibandingkan dengan resin, lilin jauh lebih padat dan empat kali lebih kuat, khususnya pada suhu lebih dari 35oC (Hepburn and Kurstjens, 1984), diman cerumen lebah stingless memiliki titik lebur yang lebih tinggi (Buchwald et al., 2005).

Belum ada penelitian pembanding yang menunjukan jumlah relatif resin dan lilin yang digunakan dalam cerumen dari lebah stingless yang berbeda. Lebah kecil Hypotrigona, Trigonisca, Schwarzula dan Plebeia menggunakan sangat sedikit resin, menggunakan lilin murni (Sakagami, 1982; Blomquist et al., 1985; Drumond et al., 1995; Camargo and Pedro, 2002a). Suatu respons adaptif dari sarang lebah stingless berukuran kecil yang terdapat dalam batang yang ramping dan terbuka diperkirakan akan terjadi pada kondisi termal tersebut, seperti yang terjadi pada arsitektur sarang yang rapuh atau besar, yang memungkinkan pergerakan lebah dewasa sebagai sumber panas atau pada saat migrasi. Dinamika suhu udara setiap hari diantara lapisan-lapisan luar batumen sarang yang besar dan terbuka belum diukur walaupun pengukuran suhu (Zucchi and Sakagami, 1972;Wille and Orozco, 1975; Roubik and Peralta, 1983) dan observasi langsung terhadap lebah pencari pakan menunjukan bahwa tidak diperlukan tetesan air untuk mendinginkan (Moritz and Crewe, 1988; Engels et al., 1995; Nogueira-Neto, 1997). Ketika air diangkut oleh pekerja, hanya digunakan untuk memasak madu.

Perbaikan sarang menggabungkan bahan-bahan pembuat sarang. Lebah pekerja pada umumnya melakukan pekerjaan pembangunan, walaupun pejantan terkadang melakukan kegiatan perbaikan serupa (secara tidak beraturan) (Velthuis et al., 2005). Pekerja membuat lilin dari hasil sekresi kelenjar dorsal, namun beberapa ratu atau pejantan juga menghasilkan sedikit lilin; lilin pertama-tama diletakan dalam penyimpanan lilin dalam sarang (Cruz-Landim, 1967; Michener, 1974; Sakagami, 1982; Koedam et al., 2002). Lilin dari lebah stingless berbeda memiliki sifat kimia yang berbeda, dan jauh lebih sederhana dari lilin yang dihasilkan Apis (Blomquist et al., 1985). Cerumen, produk yang dihasilkan dari resin tumbuhan yang bercampur dengan lilin dan digunakan oleh meliponine, tetap lembut dalam waktu yang lama dan lebih lentur dibandingkan lilin lebah Apis mellifera (Hepburn and Kurstjens, 1984). Fungsi lain cerumen pada konstruksi adalah dapat melakukan perbaikan darurat dari serangan musuh alami.

Cerumen segar biasanya digunakan untuk membuat sel-sel pengeraman, involukrum, saluran jalan masuk sarang, atau pot-pot penyimpanan. Lilin diambil dari tempat penyimpanan lilin murni dan dicampur dengan resin yang diambil dari tempat penyimpanan resin murni (Lihat gamb. K Online). Tempat penyimpanan ini dapat terletak di dekat jalan masuk sarang maupun sel-sel pengeraman; lebah pekerja mencampur kedua bahan ini menggunakan mandibula mereka (Michener, 1974; Sakagami, 1982). Sebagai respon perubahan drastin sarang, seperti bukaan sarang, lebah mencari dan mengumpulkan lebih banyak resin, pada umumnya dilakukan oleh spesies Plebeia, Melipona, Cephalotrigona, dan Partamona, lumpur dikumpulkan langsung dari tepi bukaan (selalu diselingi dengan resin), yang selanjutnya secara bertahap ditutup oleh pekerja dari bagian tengah sarang. Saya telah melakukan percobaan dengan sarang Trigona nigerrima, salah satu dari tiga lebah Trigona yang, sama seperti jenis tawon tertertentu, membangun sarang dari potongan bubur kayu (Roubik, 1989). Sepanjang 5 cm2 permukaan sarang dipindahkan pada sore hari. Ketika menjelang pagi sarang telah selesai diperbaiki, tanpa bahan-bahan tambahan dari luar.

Apabila sarang dirusak, koloni tidak dapat terbang bersama ratu mereka menuju sarang baru, tapi ratu lebah T.laeviceps di Sumatera yang diambil makanannya terbang menuju kotak sarang yang baru (inoue et al, 1984). Sisiran pengeraman yang masih utuh dan dibuang, yang masih dihinggapi pejantan Melipona fulva merupakan indikasi lebah ratu melarikan diri dengan diam-diam (Roubik, 1979). Melipona dan lebah stingless lainnya berkumpul di dekat batang pohon ketika sarang mereka hancur. Masih belum diketahui, apakah lebah-lebah tersebut dapat membangun sarang baru, menggunakan lebah ratu perawan, atau bergabung dengan koloni lain setelah sarang mereka hancur. Namun, telah dilakukan penelitian terhadap sarang koloni gabungan dari spesies Melipona panamica dan M.fuliginosa (Roubik, 1981) dan telah ditemukan di lapangan untuk kedua kalinya. Lebah stingles terbesar, M.fuliginosa, membuat sarang yang digunakan kembali oleh spesies-spesies yang lebih kecil, di mana para pekerjanya memperoleh nektar dari luar jalan masuk sarang ketika mereka kembali dari lapangan. Biasanya, sama seperti spesies parasit Bombus (Goulson, 2003), sarang dapat direbut oleh spesies pendatang. Melipona dan beberapa genus lebah stinglees lainnya sangat tertarik untuk kembali ke sarang lama mereka yang rusak dan mengambil resin dari tempat penyimpanan resin, juga cerumen dan madu.

Lebah membuang air, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, namun lebih sering membuang gumpalan sampah menggunakan mandibula mereka. Aktivitas ini berlangsung seharian, atau biasanya siang hari. Beberapa genus, seperti Lestrimelitta, Hypotrigona dan Trigonisca (pers. obs.) menjatuhkan gumpalan dari jalan masuk sarang, sementari lainnya, seperti Melipona, terbang dan menjatuhkan gumpalan beberapa meter dari sarang (Kerr and Kerr, 1999). Gumpalan-gumpalan sampah pada umumnya adalah meconia (veses/kotoran larva) yang terdapat di lantai sarang. Veses lebah dewasa dalam sarang biasanya terkumpul dalam kakus; kebanyakan dikonsumsi organisme-organisme mutualis (sect 4.6). Lapisan cerumen secara tiba-tiba dipindahkan dari pintalan benang kepompong (Michener, 1974).

 

4. SEKUTU-SEKUTU SARANG

4.1. Syarat-syarat biologi sarang

Lebah stingless secara selektif mencari tempat untuk membangun sarang mereka, sering dibangun dalam batang pohon hidup. Sehingga selalu terdapat organisme-organisme sekutu, yang sudah ada maupun yang baru terbentuk di lingkungan tersebut. Lebih jauh, belum terdapat penelitian terhadap organisme-organisme sekutu lebah stingless, karena nama taksonominya tidak lengkap dan belum sempurna di habitat-habitat asalnya (Kistner, 1982; Roubik, 1989; Eickwort, 1990;Nogueira-Neto, 1997). Terkecuali urutan sekutu sarang yang luar biasa di Brazil dan diteliti oleh Camargo and Pedro (lihat 2002, 2003, 2004).

 

4.2. Organisme kolaborator, parasit, atau komensalis?

Hidup bersama dalam sarang lebah stingles, organisme tungau, collembolans, kumbang leiodid, jamur mutualis atau bakteri kelihatan normal, dan beberapa sekutu sarang menjadi semidomestik. Dengan mempertimbangkan letaknya, sarang lebah stingless yang menggunakan sarang rayap atau semut jarang ditemukan, walaupun penggunaan sarang yang telah ditinggalkan koloni rayap dan semut telah diketahui (tab.1). Konstruksi sarang lebah Partamonamusarum dan P. helleri dalam bekas sarang burung telah dilaporkan (Camargo and Pedro, 2003).

Walaupun tidak ada perubahan pada bahan-bahan pembangun sarang, koloni semut dan rayap ‘tuan rumah’ tidak menmberikan atau berbagi perlindungan dengan koloni lebah stingless. Aparatrigona, Scaura, Nannotrigona mellaria dan beberapa Trigona (mazucatoi, cilipes), Paratrigona pannosa (Dejean and Roubik, pers. obs.) dan Sundatrigona moorei (Sakagami et al., 1989) merupakan parasit terhadap persarangan dan pertahanan. Lebah-lebah yang tidak memiliki pertahanan yang agresif menggunakan sarang spesies petarung Nasutitermes,Dolichoderus, Azteca (Kerr et al., 1967), Epipona (Rasmussen, 2004), Pachycondyla goeldii (Dejean and Roubik, pers. obs.), dan Crematogaster (referensi terdahulu Roubik, 1989). Sebaliknya, Partamona dan kebanyakan Trigona bersifat agresif dan bersekutu dengan berbagai indukan. Bahkan burung pun memperoleh keuntungan dari koloni lebah agresif Trigona di dekat sarang mereka (Smith, 1968). Saat ini, Sterlin dan saya sedang mengamati spesies Sarcoramphuspapa dilembah utaraBolivia, yang bersarang di puncak pepohonan, dekat dengan sarang Trigona amazones yang sangat agresif. Dalam hal ini, lebah-lebah parasit kemungkinan dihalau dari sarang burung yang terletak dekat dengan sarang lebah agresif.

 

4.3. Mikroba

Beberapa spesies Bacilus,hampir mirip dengan yang ditemukan di sarang lebah madu, Apis mellifera, terdapat dalam tempat penyimpanan polen atau tempat pengeraman. Mereka antara lain Bacillismegaterium, B. circulans and B. alvei, yang menghasilkan enzim untuk memfasilitasi penyimpanan dan atau pencernaan, plus mensekresi antibiotik dan asam-asam lemak (Gilliam et al., 1990). Ragi Candida(Camargo and Pedro, 2004) dan Starmerella meliponinorum juga bersifat mutualis dengan sarang lebah (Teixeira et al., 2003). Camargo dan Pedro menemukan ragi yang menutupi persediaan pollen lebah Ptilotrigona lurida, yang menghilangkan air dan memelihara pollen, juga berpotensi mensuplai karbohidrat kepada lebah, dan menjadikan sarang tidak menarik untuk musuh alami mereka, lalat phorid.

 

4.4. Mutualisme dengan tanaman yang tak berbunga?

Kebanyakan sekutu lebah stingless adalah pepohonan, sebagai sumber persarangan dan makanan. Saat ini, kami belum mengetahui apakah tumbuhan yang menarik bagi lebah stingless untuk bersarang berhubungan dengan manfaat penyerbukan. Pengumpulan resin bunga-bungaan sebagai bahan pembangun sarang telah digunakan oleh setidaknya dua genus tumbuhan tropis sebagai dasar ketertarikan untuk melakukan penyerbukan (Armbruster, 1984). Namun, terdapat penelitian terhadap spesies yang tumbuh di hutan tropis menunjukan bahwa hanya sedikit spesies yang digunakan oleh hewan lebah stingless (Moritz and Crewe, 1988; Camargo and Pedro, 2002a; Antonini and Martins, 2004; Martins et al., 2004), banyak dokumen penelitian digunakan pada beberapa famili dan genus (Hubbell and Johnson, 1977; Johnson and Hubbell, l986; Oliveira et al., 1995; Eltz et al., 2002, 2003; Kajobe and Roubik, unpublished data), dengan pengecualian pada beragam spesies hutan Asia (Samehima et al., 2004). Kelimpahan sarang lebah stingless yang tidak proporsional terjadi diantara pohon ara dan pohon inang mereka (Cameron et al., 2004; Roubik and Harrison, pers. obs.). Manfaat potensi penyerbukan bagi pohon ara tidak mungkin ditemukan, dan pada pepohonan lainnya bersifat kebetulan saja.

Beberapa resin yang digunakan meliponine mengandung benih kecil buah Coussapoa asperifolia (Cecropiaceae, see Garcia et al., 1992), seperti yang ditemukan pada lumpur dan resin blok batumen Melipona. Sebelumnya benih tersebut disangka sebagai Vismia (Clusiaceae) (Roubik, 1989). Trigona carbonaria mengumpulkan resin yang mengandung benihEucalyptus torelliana (Wallace and Trueman, 1995). Manfaat benih dalam konstruksi sarang saat ini belum jelas, namun benih dari kedua tumbuhan di atas (Coussapoa merupakan tumbuhan hemiepifit) berkecambah di luar sarang lebah (pers. obs.).

 

4.5. Hubungan mutualis

Schwarzula coccidophila (Camargo and Pedro, 2002a, b) dan Schwarzula timida (Roubik, Stierlin, Harrison, Kondo, pers. obs.) menerima lebah lilin Cryptostigma (Coccidae: Hemiptera) sebagai koinhabitan dalam sarang mereka, yang disebabkan karena mereka dilindungi oleh lebah stingless, dan sebagai gantinya mereka menyediakan lilin dan gula (lihat gamb.3). beberapa coccids, yang memakan getah tumbuhan, juga tinggal bersama dan dilindungi semut, dan sebagai gantinya mereka mensekresi gula. Seluk-beluk kohabitasi umumnya dapat disebabkan oleh hubungan saling memberikan manfaat diantara organisme-organisme berbeda, yang menimbulkan hubungan ketergantungan yang kompleks.

Kumbang leiodid, atau scotocryptines Scotocryptus, Scotocryptodes, Synaristus, Parabystus (Roubik and Wheeler, 1982; Peck, 2003; Fig. K online only) tinggal bersama dalam sarang genus neotropis Melipona, Cephalotrigona dan Partamona. Kumbang dewasa buta dan tidak dapat terbang; jantan dan betina, berjumlah lusinan, tinggal dan mengkonsumsi puing-puing tempat penyumpanan pollen (Peruquetti and Dias Bezerra, 2003), fungi atau kotoran jamur (yang juga mengkonsumsi fungi) di sisi sarang yang basah. Pembubaran kumbang dilakukan dengan kaki belakang Melipona (Nogueira-Neto, 1949). Kumbang jantan memiliki takik mandibular khusus yang menjaga mereka ketika ‘mengendarai’ rambut korbikular lebah pekerja, dan perpindahan antar sarang terjadi melalui telapak kaki lebah yang berlumpur ketika lebah mengumpulkan bahan-bahan pembangun sarang (Roubik and Wheeler, 1982).

Organisme lain yang tinggal dalam sarang lebah adalah ricinuleids, spesies arachnida yang bergerak sangat lambat, Cryptocellus gamboa (Platnick, pers. comm.; lihat Platnick and Shadab, 1981) dalam sarang hypogeous spesies Trigona fulviventris di hutan hujan Panama (pers. Obs). Organisme pseudoscorpions, Dasychernes, banyak terdapat dalam sarang Melipona lainnya di Kolombia (Salt, dalam Kistner, 1982). Organisme Cyphoderid collembolans, Paracyphoderus, Cyphorderus dan Pseudocyphoderus sering ditemukan dalam sarang Melipona dan Partamona. Organisme pemakan fungi ini, seperti kumbang leiodid, memiliki morfologi yang dianggap bersekutu dengan kumbang (Kistner, 1982). Mereka sangat kuat dan dapat menyembunyikan atau menyelipkan anggota tubuh mereka.

Beberapa genus tungau tinggal dalam sarang lebah dan mengkonsumsi fungi adalah Neotydeolus, Macrocheles, Tyrophagus, Trigonholaspis dan Hemileius, sedangkan lainnya, dalam jumlah yang lebih sedikit, mengkonsumsi pollen, seperti Pyemotes, Lasioseius, Glycyphagus, Neocypholaelaps dan Tyroglyphus (Delfinado-Baket et al., 1984; Baker and Delfinado-Baker, 1985; summaries in Eickwort, 1990; Nogueira-Neto, 1997). Tungau pemakan laelapid, Neohypoaspisampliseta mengkonsumsi tungau yang berpenyakit asma dalam sarang lebah stingless (Delfinado-Baker et al., 1983). Lebah Michiliid (Melo, 1996) juga mengkonsumsi kotoran kakus dalam minimal satu sarang Melipona.

 

4.6. Parasit sejati dan predator

Termasuk diptera, parasit-parasit internal dan sarang meliponine meliputi tiga genus Phoridae, Pseudohypocera, serta parasit-parasit internal lebah dewasa, Apocephalus dan Melaloncha (Brown, 1997). Serangga-serangga ini, merupakan musuh terburuk fauna neotropis, dan sama sekali tidak ada dalam zaman purbakala (sebagai musuh alami lebah). Mereka menunggu dekat-dekat pejantan yang sedang menjantani di dekat jalan masuk sarang, kemudian menyerbu sarang dan meletakan telur-telur mereka dalam semua rongga atau lubang kecil (Sect 3.2). tungau parasit dengan jelas dapat menanam larva Melipona, Meliponula dan Trigona, serta Meliponaspis, Hypoaspis dan Trigonholaspis (review by Kistner, 1982).

Predator terbesar sarang lebah stingless adalah mustelid, beruang dan primata, dengan bantuan Tamandua,Myrmecophaga, dan armidillos (selain itu, beberapa omnivora, seperti procyonids atau coatimundis Nasua, musang Civerridae, dan tupai Didelphidae), semuanya merupakan predator oportunis koloni lebah stingless. Mustelid merupakan musuh utama koloni di daerah neotropis (Eirabarbara) dan sigung hidung babi Conepatus hog-nosed skunks, sementara di Savana Afrika, pencari madu (Mellivora capensis) dan burung-burung yang berhubungan mutualis dengan mereka, Indicator, merupakan predator koloni yang cekatan. Beruang – Tremarctos, Helarctos, Ursus, merupakan predator khusus di Andean America Selatan dan Asia Tenggara (Roubik, 1989). Hutan hujan Afrika memiliki primata yang menjadi predator utama koloni lebah – simpanse, gorilla dan baboons (Pan,Gorilla, Langur) namun para pemburu madu hampir tidak ditemukan di hutan rimba. Australia kurang memiliki predator sarang lebah stingless khusus, demikian pula Madagaskar dan beberapa pulau besar penghasil lebah stingless, seperti Taiwan dan Filipina.

 

5. KOMUNITAS-KOMUNITAS KOLONI

5.1. Reproduksi dan persarangan

Jumlah relatif dan posisi koloni dalam area telah memaksa terjadinya evolusi lebah stingless. Ratu lebah perawan bersama-sama kawanan lebah pekerja menuju sarang baru, dan pejantan menunggu mereka sebagai antisipasi (reviews in Nogueira-Neto, 1997; Velthuis et al., 2005) – jelas menunjukan bahwa aroma ratu tersebar dari sarangnya. Setelah itu, ratu baru terbang untuk melakukan perkawinan tunggal dengan pasangannya, diikuti oleh ratusan pejantan (Peters et al., 1999; Palmer et al., 2002). Ratu tersebut dapat dibunuh, atau jelas, beberapa ratu dibunuh oleh predator pada saat melakukan perkawinan (Michener, 1961; Paxton et al., 2003). Dengan demikian, biologi reproduksi lebah stingless antara koloni induk dan koloni anak berhubungan dengan pakan, khususnya pada ratu-ratu baru. Hubungan ini didokumentasikan enam bulan sebelumnya (Wille and Orozco, 1975; Sakagami et al., 1983; Drumond et al.,1995).

Arti jarak ‘tetangga terdekat’ diantara sarang koloni-koloni di alam sekitar 50 sampai beberapa ratus meter (Hubbell and Johnson, 1977; Breed et al., 1999; Samejima et al., 2004). Cameron et al. (2004) memperkirakan bahwa ada 132 koloni lebah dengan para pejantan yang ikut dalam perkawinan, menggunakan analisis mikrosatelit pembentuk DNA. Pada densitas 3ha-1 (spesies yang dipelajari adalah T.collina, yang memiliki kumpulan sarang) potensi ekologi reproduksi koloni meliputi semua koloni dalam jarak 50 ha.

 

5.2. Harga kestabilan

Penyakit pada lebah lebih sering muncul dan dikenali pada lebah madu dibandingkan pada lebah stingless (Nogueira-Neto, 1997; Morse, 1994), hal ini menunjukan bahwa meliponine, berbeda dengan Apis daerah tropis (Akratanakul, 1986), tidak berpengalaman mengubah lokasi persarangan secara reguler, untuk melepaskan timbunan parasitnya. Lebih jauh, adanya hubungan yang tetap antara koloni induk dan anak memberikan model evolusi parasitisme, khususnya kleptoparasitisme. Kleptoparasitisme berkembang sendiri pada spesies neotropikal Lestrimelitta dan spesies AfrikaCleptotrigona cubiceps. Sifat-sifat filogenetik taksonomi ini telah diperjelas. Beberapa spesies Oxytrigona menyerang koloni-koloni lainnya dan menggunakan sarang mereka (Nogueira- Neto, 1997), demikian pula Tetragonisca angustula (Sakagami et al., 1993; pers. obs.).

Penyebaran sarang, dalam spesies, dikarenakan adanya kompetisi dan distribusi diantara spesies agresif pencari pakan (Hubbell and Johnson, 1977; Breed et al., 1999) – untuk menentukan sarang yang sesuai. Koloni-koloni akan bertarung memperebutkan tempat persarangan yang potensial (Hubbell and Johnson, 1977; Sakagami et al, 1993). Lestrimelitta mengatur densitas koloni mereka melalui kontes periodik (Sakagami et al., 1993), meliputi pertempuran besar-besaran, di mana penyerangan mengakibatkan Kematian dalam jumlah besar (Johnson, 1987, pers. obs.), atau koloni mengambil alih sarang induk, di mana seluruh populasi induk dimusnahkan, namun penyerang hanya mengalami sedikit kehilangan (Sakagami et al., 1993, pers. obs.). Penulis ini dan lainnya mengamati spesies Lestrimelitta yang menyerang Pseudohypocera (lalat phorid) untuk merebut sarang mereka – sarang-sarang induk biasanya dipandang sebagai sumber tetap.

Dengan demikian jumlah komunitas sarang lebah stingless yang tetap menunjukan terjadinya seleksi alam untuk mengurangi kepunahan koloni lebah stingless, seperti yang dijelaskan sebelumnya, dan juga mencegah terjadinya kompetisi lebah untuk makan dan tinggal di sarang yang merambah pada perebutan rongga dalam sarang, atau kleptoparasitisme.

 

6. DINAMIKA DALAM KOMUNITAS

Pada vegetasi alami, komunitas lebah stingless, dalam hal sarang aktif, berjumlah sekitar 150 koloni per km persegi (100ha), dan diketahui memiliki kisaran 15 sampai 1500 koloni, namun bervariasi biomassa koloni dan ukuran lebahnya (Kajobe and Roubik, 2006; Samehima et al., 2004; Breed et al., 1999; Nogueira-Neto, 1997). Tumbukan ringan dapat mngubah komposisi spesies (Brown and Albrecht, 2001). Habitat-habitat buatan manusia juga menmberikan informasi tentang densitas sarang lebah (e.g. Michener, 1946; Morse, 1994). Terdapat lebih banyak sarang dalam daerah alami, hutan tua yang masih perawan, namun memiliki jauh lebih sedikit spesies, dan kemungkinan lebih sedikit lebah dewasa (Batista et al., 2003; Eltz et al., 2003; Kajobe and Roubik, 2006). Spesies-spesies individual memiliki beberapa ratus sarang pada lahan seluas beberapa hektar, namun memiliki koloni yang sangat sedikit. Sekitar 2-6 koloni per hektar dianggap merupakan koloni besar atau koloni yang terdeteksi. Eksploitasi suatu sumber madu sebanding dengan satu koloni Apis mellifera per hektar, 10x lebih besar densitas sarang A.mellifera di habitat daerah tropis (Kajobe and Roubik, 2006).

Seberapa sering koloni lebah stingless bereproduksi, baik secara berkerumun maupun perkawinan pejantan dengan ratu? Mengejutkan, hasil penelitian yang dilakukan di Afrika, Amerika dan Asia menunjukan angka mortalitas lebah per tahun antara 12-15% (Eltz et al., 2002; Kajobe and Roubik, 2006; Roubik and Harrison, pers. obs.). Jika dan hanya jika sarang secara terus-menerus dijaga, populasi koloni lokal dengan tingkat mortalitas 13% dapat dipertahankan, artinya sekitar 5% (.8722) koloni asli dapat hidup hingga 23 tahun. Dengan demikian, rata-rata, koloni lebah stingless dapat menghasilkan keturunan dengan cara reproduksi dalam waktu kira-kira satu lusin tahun.

Pengaruh Ekstrim Musim Terhadap Kegiatan Mencari Makan Dan Produktivitas Koloni LebahStingless/Tanpa Sengatan (Melipona Asilvai Moure, 1971) DiTimur Laut Brazil (terjemahan bebas dari artikel penelitian Daniela Lima do Nascimento and Fabio Santos Nascimento)

11 Jul

Hindawi Publishing Corporation

Psyche

Volume 2012, Article ID 267361, 6 pages

doi:10.1155/2012/267361

 

Artikel Penelitian

Pengaruh Ekstrim Musim Terhadap Kegiatan Mencari Makan Dan Produktivitas Koloni LebahStingless/Tanpa Sengatan (Melipona Asilvai Moure, 1971) DiTimur Laut Brazil

Daniela Lima do Nascimento and Fabio Santos Nascimento

Departamento de Biologia, Faculdade de Filosofia, Ciˆencias e Letras de Ribeir˜ao Preto, Universidade de S˜ao Paulo,

14040-901 Ribeir˜ao Preto, SP, Brazil

Correspondence should be addressed to Daniela Lima do Nascimento, daninascimento@usp.br

Received 5 March 2012; Revised 13 April 2012; Accepted 15 April 2012

Academic Editor: James Charles Nieh

Hak Cipta © 2012 DL do Nascimento dan FS Nascimento. Ini adalah sebuah artikel yang dapat diakses dan didistribusikan oleh Creative Lisensi Atribusi Commons, yang dapat digunaan, didistribusi, dan direproduksi tak terbatas dalam media apapun, dengan syarat
karya asli dikutip.

Penelitian ini melaporkan pengaruh musim terhadap kegiatan mencari makan dan parameter-parameter internal kolonial Melipona asilvai di kawasan hutan Atlantik dari timur laut Brazil.Kami menggunakan kamera video yang terhubung ke PC untuk memantau semua keberangkatan dan kembalinya lebah pekerja dan jenis bahan makanan yang mereka bawa. Kegiatan mencari makan menurun hampir 90% dari musim kemarau hingga musim hujan, namun suhu dan kelembabanbukanlah faktor utama yang mempengaruhi tingkat Keberangkatan mereka. Pengamatan yang dilakukan terhadap jumlah penyimpanan madu menunjukan tingkat penurunan yang ekstrim dalam kegiatan ini selama musim hujan sehingga dianggap telah terjadi diapause musiman dalam spesies ini.

1. Pengantar

Kegiatan mencari makan pada serangga sosial dipengaruhi oleh variabel lingkungan yang tak terduga dalam hal waktu dan lokasi makanan [1]. Menurut Biesmeijer dan de Vries [2], ada dua hal utama yang mempengaruhi kegiatan lebah mencari makan: (1) faktor internal, seperti memori individu dan batas ambang respon untuk bereaksi terhadap rangsangan keinginan mencari makan, dan (2) faktor eksternal, seperti lingkungan dan kondisi koloni yang menentukan tingkat eksposur terhadap rangsangan yang terkait dengan Keputusan mereka mencari makan [3-8]. Koloni lebah madu dan lebah stingless dapat mengalokasikan lebih banyak pekerja untuk mengumpulkan nektar dan serbuk sari sebagai respons terhadap jumlah makanan yang dimiliki dan ketersediaan sumber daya di lapangan [7,9-12].

Koloni Lebah stingless terdiri dari beberapa ratus hingga puluhan ribu individu, dan pertukaran informasi antara para pekerja adalah fitur kunci dalam menghasilkan efisiensi makan koloni dan secara tidak langsung terhadap pertumbuhan koloni dan keberhasilan reproduksi [13]. Pengaruh cuaca terhadap kegiatan mencari makan dalam beberapa spesies lebah eusocial telah dipelajari [14-25]. Studi ini melaporkan bahwa kondisi cuaca, intensitas cahaya, kelembaban, ketersediaan pangan, persaingan, keadaan koloni, dan keadaan fisiologis individu merupakan faktor pentingyang mempengaruhi kegiatan mencari makan dari spesies Melipona.

Dalam penelitian ini kami melaporkan efek ekstrim yang mempengaruhi aktivitas mencari makandan produksi koloni sebagai respons terhadap variabel-variabel lingkungan dalam koloni Melipona asilvai. Untuk tujuan ini, kami menggunakan pendekatan observasional terbaru untuk memantausemua kegiatan keberangkatan dan pintu masuk lebah mencari makan setiap hari.

  1. Bahan dan Metode

2.1. Lokasi Penelitian.Penelitian dilakukan di Campus of Universidade Federal de Sergipe (UFS), S˜ao

Crist ´ ov˜ao (1055_S, 3703_W, altitude 2m). Area penelitian dikarakterisasi sebagai area subhumid di Atlantic Rain Forest atau “Zona da Mata.” Menurut Amˆancio [26], dua musim berbeda ditemukan pada daerah ini: musim hujan berlangsung dari April hingga Agustus (curah hujan antara 1.100mm and 1.500mm) dan musim kemarau dari September hingga Maret. Siklus suhu udara berlangsung terus menerus tanpa terjadi variasi panas yang signifikan.

 

2.2. Spesies. Tiga koloni Melipona asilvai dengan ratunya dipelihara untuk penelitian ini. Koloninya berasal dari Nossa Senhora da Gl´ oria, Provinsi Sergipe, yang dibawa ke the UFS Entomology Laboratory. Masing-masing koloni ditempatkan dalam sebuah kotak kayu yang ditutupi dengan kaca untuk keperluan pengamatan. Sebuah pipa plastik digunakan untuk menghubungkan koloni dengan lingkungan luarnya, sehingga memungkinkan lebah mencari makan dengan leluasa. Suhu lingkungan dikontrol pada 28oC menggunakan thermostat.

 

2.3. Pengambilan Data. Penelitian ini dilakukan pada 10-28 Maret 2009 (musim hujan) dan 10-28 Juni 2009 (musim kemarau). Kami menggunakan kamera pengaman mikro (model CCD Sony 480L Day 0.1 Lux Color) yang ditempatkan dalam kotak kaca (5.0 × 3.0 × 3.0 cm) yang dipasang pada setiap pintu masuk pipa. Rekaman video diatur sedemikian sehingga dimulai pada pukul 05:00, sebelum Keberangkatan lebah pekerja untuk mencari makan pertama kali, dan berakhir pada pukul 19:00, setelah aktivitas di luar koloni berakhir. Kamera-kamera tersebut dihubungkan dengan komputer menggunakan AVerMedia EZmaker frame grabber (Avermedia, Milpitas,CA) dan VirtualDub software, http://www.virtualdub.org/. Program ini memungkinkan para peneliti untuk mengidentifikasi bahan yang diangkut lebah pekerja, misalnya mud (berbentuk tidak beraturan dan berwarna cokelat), resin(berwarna terang dan berbentuk bulat), pollen (berwarna putih hingga kuning), dan cairan (air dan nektar). Para lebah pekerja yang datang membawa beban muatan pada abdomen mereka dikelompokan. Nektar dan air yang dibawa tidak dihitung.

Untuk mengetahui bagaimana pengaruh musim terhadap kegiatan pengumpulan makanan dan kondisi koloni, setiap hari kami menghitung jumlah pot madu dan pollen, setup dalam kotak, serta jumlah relatif individu dalam koloni (lebah pekerja dalam sisiran). Semua parameter didata pada pukul 18:00 setelahperekaman dengan video. Data suhu dan kelembaban relatif diukur dengan termohigrometer digital yang dipasang di luar laboratorium.

 

2.4. Analisis data. Data dianalisis menggunakan general linear model (GLM),di mana koloni, musim, dan waktu per hari dimasukan sebagai variabel independen dan jumlah lebah yang masuk dan keluar sebagai variabel dependen dalam data[27]. Uji Kruskal-Wallis dan uji Mann-Whitney U digunakan untuk memastikan apakah tipe substansi yang diangkut lebah pekerja terjadi pada periode satu hari dan untuk membandingkan produktivitas koloni antara kedua musim.Korelasi uji Kendau Tau juga digunakan untuk memperkirakan hubungan antara faktor-faktor abiotik dengan frekuensi terbang lebah. Semua analisis menggunakan Statistica 7.0 (Statsoft inc.).

 

3. Hasil

3.1. Kegiatan mencari makan dan Pengaruh Musim. General linear mixed model menunjukkan bahwa kegiatan mencari makan secara signifikandipengaruhi oleh hampir semua parameter yang diuji (Tabel 1). Perbedaanantara koloni tidak signifikan, yang berarti bahwa jumlah keberangkatan lebah pekerja untuk mencari makan dan kembalinya dalamtiga koloni tidak berbeda. Rekaman analisis penerbangan kembali lebah 73375 menunjukkan perbedaan mencolok dalam kegiatantersebut antara musim hujan dan kemarau. Musim, waktu, dan waktu × musim menunjukkan efek yang signifikan pada frekuensi kegiatan mencari makan.

Tabel 1: Hasil GLM kegiatan mencari makan pada musim kemarau danmusim hujan, per hari, dan pada koloni yang diamati.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada korelasi yang kuat antara suhu udaradan kelembaban relatif dengan frekuensi keluarnya lebah pekerja'(Gambar 1, musim kemarau: suhu: τ = -0.20, P = 0,83 dankelembaban: τ = 0,34, P = 0,73; musim hujan: suhu: τ = 2.71, P <0,05 dan kelembaban: τ = -0.03, P = 0,37). Di sisi lain, perbandingan data yang dikumpulkan menunjukkankecenderungan positif antara suhu dengan jumlah lebahkeluar sarang (τ = 13,94, P <0,001).

 

3.2. Aktivitas mencari sumber makan, per hari, dan musim. Aktivitas keberangkatan lebah dari sarang selama musim kemarau terjadi sekitar pukul 05:30. Selama musim hujan, keberangkatan pertama dimulai pukul 6:00-9:00, dan pada saat-saat tertentu aktivitas keluar mencari makan awal terjadi pukul 13.00. Dalam kedua musim, aktivitas perjalanan mencari makan berakhir sekitar pukul 18.00. Selama musim kemarau, puncak aktivitas keberangkatan terjadi antara pukul 07:00 dan 08:00 ( rata-rata ± SD = 38,46 ± 30,64 lebah , Gambar 1 (a), sedangkan pengamatan yang dilakukan selama musim hujan tidak menghasilkan puncak yang jelas karena jumlah individu yang keluar sangat sedikit (Gambar 1 (b)). Aktivitas mencari makanan cair berubah secara intens sepanjang waktu hari selama musim kemarau tapi tidak di musim hujan, di mana jumlah individu yang keluar mencari makanan cair berkurang secara signifikan (musim kemarau : H12 = 195,17, P <0,001; musim hujan: H12=104,77, P<0,001; Angka 3 (a) dan 3 (b)). Aktivitas mencari makanan cair selama musim kemarau mulai sekitar pukul 06:00, dengan puncak kegiatan pada pukul 7:00 (rata-rata ± SD= 97,5 ± 12,4 lebah) dan menurun setelah pukul 11:00. Sebanyak 43.228 lebah diamati kembali dengan muatan cair. Selama musim hujan, aktivitas pengumpulan cairan tidak menunjukkan
puncak signifikan (Gambar 2 (b)). Dalam periode ini pengamatan terhadap 1.959 lebah dicatat.

Pengumpulan pollen, resin, dan mud juga berbeda antaramusim dan jam per hari (Gambar 3 (a) dan 3 (b)). Pengumpulan pollen menunjukkan variasi yang signifikan antara hubungan jam per hari di kedua musim (musim kemarau: H12= 225,26, P<0,001; musim hujan: H12 = 66,65, P <0,001; Angka 2 (a) dan2 (b)). 5,198 lebah diamati kembali dengan pollen selamamusim kemarau dan 340 lebah selama musim hujan. Pengumpulan resin memuncak pada pukul 7:00 di musim kemarau dan dari pukul 8:00sampai 10:00 selama musim hujan (musim kemarau: H12 = 80,07, P<0,001; musim hujan: H12 = 32.21, P <0,001). Selamamusim kemarau dan hujan, masing-masing 6.213 dan 118lebah yang diamatikembali dengan resin.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pengumpulan mud dilakukan sepanjang hari dan tidak menunjukkan adanya aktivitas puncak yang spesifik (Gambar 3 (a) dan 3 (b)). Perbedaan ini signifikan dalam kedua periode penelitian (Musim kemarau: H12 = 86.19, P <0,001; musim hujan: H12 = 28.68, P = 0,004). Masing-masing 16.106 dan 213 lebah yang kembali diamati dengan mud di kedua musim.

 

3.3. Produktivitas koloni. Analisis terhadap produktivitas relatif kolonimenunjukkan bahwa semua parameter secara signifikan bervariasiantara musim kemarau dan hujan (Gambar 4). Lebih banyak pot nektaryang diamati selama musim hujan dibandingkan musim kemarau (Mann-Whitney U = 9,10, P <0,001). Sebaliknya, jumlah pot serbuk sari lebih kecil pada musim kemarau (Mann-Whitney U = 5.15, P <0,001). Produksi induk hampirditangguhkan selama musim hujan, sehingga jumlah selyang ditetapkan secara signifikan lebih kecil di musim ini(Mann-Whitney tes U = 2,67, P <0,05).

 

4. Pembahasan

4.1. Kegiatan mencari makan dan pengaruh musim. Hasil penelitian kami menunjukkanbahwa selama 19 hari penelitian di musim hujan, keberangkatan para lebah pekerja M. asilvai untuk mencari sumber makanan (cair dan serbuk sari) menurun lebih dari 20 kali. Pengumpulansumber makanan tampaknya tidak secara independen dipengaruhi olehfaktor tunggal seperti suhu atau kelembaban. Faktor lain yang juga dapat mempengaruhi aktivitas mencari makan dari lebah stinglessadalah variasi dalam kuantitas dan kualitas sumber makanan antara hari atau musim [10, 28]. Biesmeijer et al. [9] mengamati bahwa konsentrasi gula dari nektar

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

yang lebih tinggi dikumpulkan oleh lebah dalam lingkungan yang lebih kering. Memang, hubungan organisasi pencarian makanadalah hasil dari respons individu lebah pekerja terhadap perubahan lingkungan.

Penelitian sebelumnya yang dilakukan dengan spesies yang sama padadaerah yang lebih kering di timur laut Brasil mencatat hubungan yang sama antara faktor abiotik dengan kegiatan lebah mencari makan [29]. Penelitian lain yang dilakukan di lintang yang lebih tinggi memverifikasi bahwa suhu dan kelembaban relatif merupakan faktor pembatas yang paling mempengaruhi puncak aktivitas penerbangan lebah stingless [17, 21, 23].

4.2. Mencari sumber makanan, waktu per hari, dan musim. Penelitian kami menunjukkan bahwa pengumpulan serbuk sari oleh Melipona asilvaimemuncak pada jam-jam pertama di pagi hari dan menurun pada siang hari. Pola ini telah diamati pula padaspesies Melipona lain [30, 31]. Hil’ario et al. [21] mengamati bahwa dalam spesies M. bicolor bicolor intensitas pengumpulan polenterjadi di pagi hari, ketika kelembaban relatiflebih tinggi serta suhu dan intensitas cahaya lebihbanyak. Roubik [10] menyatakan bahwa pollen yang dipanen dijam-jam pertama setiap hari sebanding dengan ketersediaannya yang lebih tinggi pada bunga-bunga.

Pengumpulan cairan terjadi sepanjang periode aktivitaskoloni M. asilvai. Walaupun telah diamati terjadinya pengurangan 90% aktivitas penerbangan keberangkatan lebah selama musim hujan, ada distribusi reguler cairan yang masuk sepanjang hari pada kedua musim. Pierrot dan Schilindwein [31] merekamtingkat pengambilan nektar yang lebih tinggi pada sore hari dalam koloniM. scutellaris, yang dapat dikaitkan dengan peningkatan bertahapkonsentrasi gula dalam bunga yang terinsolasi [32]. Pola serupa juga ditemukan dalam percobaan yang dilakukan dengan M.rufiventris di tenggara Brazil [24].

Pengumpulan cairan terjadi secara luar biasa selama musim kemarau (lihat Gambar 3 (a)). Jumlah lebah yang kembali dengan beban cairan adalah sekitar 70% lebih tinggi dari beban lain. Hasil ini, jika dikaitkan dengan penurunan aktivitas penerbangan lebah pekerja danjumlah pot madu yang tercatat selama musim hujan, menunjukkan bahwa koloni M. asilvai mengalami semacam diapause musiman. Di negara-negara bagian selatan, di mana pergantian musim lebih pasti, aktivitas penerbangan spesies M. bicolor schencki dan M. Marginataobscurior lebih intens selama musim panas dan musim semi dibandingkanmusim gugur dan musim dingin [33, 34]. Diapause reproduktif telahdiamati pada spesies lebah selatan lainnya, seperti Plebeia Remota dan P. droryana [28, 32].

4.3. Produktivitas Koloni. Musim memiliki dampak signifikan terhadap parameter-parameter relatif dalam produksi koloni M. asilvai. Diketahui bahwa ketersediaan sumber makanan penting untuk produksi lebah pekerja, ratu, dan pejantan dalam koloni lebah stingless [35-37]. Meskipun kami tidak mencatat jumlah produksi induk lebah dalam penelitian ini, namun wajar untuk berspekulasi bahwa jumlah produksi dan penggabungan koloni spesies ini terjadi pada saat musim kemarau ketika
ritme kegiatan lebih tinggi.

5. Kesimpulan

Kami menyimpulkan bahwa variasi musiman kemarau-hujan sangatmempengaruhi parameter biologi eksternal dan internalMelipona asilvai. Kegiatan mencari makan menurun hampir
90% dari musim kemarau ke musim hujan, namun suhudan kelembaban bukanlah faktor utama yang mempengaruhi keberangkatan lebah pekerja. Penyimpanan madu dan penurunan tajam jumlah aktivitas lebahselama periode musim hujan memungkinkan terjadinya diapause musiman pada spesies ini.

ANALISIS PENGARUH SUHU TERHADAP AKTIVITAS TERBANG SERANGGA (Terjemahan bebas dari jurnal L.R. Taylor)

11 Jul

ANALISIS PENGARUH SUHU TERHADAP AKTIVITAS TERBANG SERANGGA

 

BY L. R. TAYLOR

Department of Entomology, Rothamsted Experimental Station, Harpenden, Herts.

 

Banyak penelitian telah dilakukan untuk menentukan hubungan antara jumlah serangga yang terbang dengan beberapa fungsi suhu udara baik dalam skala laboratorium maupun di lingkungan luar. Hubungan ini cukup rumit diamati di alam karena suhu udara mempengaruhi jumlah populasi dan jumlah aktivitas serangga yang dapat terbang. Pertama-tama, sampel populasi alamiah biasanya ditangkap dengan trap catches/perangkap maupun dengan metode lainnya, untuk memisahkannya dari perubahan populasi dan mencegah terjadinya perubahan perilaku, kemudian menghubungkan perilaku atau jumlah aktivitas yang dilakukan dengan suhu udara, menggunakan regression analysis of catches (analisis regresi penangkapan serangga). Metode ini telah berhasil dilakukan oleh Williams (1940, 1961) pada beberapa taksonomi besar; dilakukan berdasarkan hipotesis bahwa aktivitas meningkat secara bertahap seiring peningkatan suhu hingga mencapai optimum; lebih lanjut, kenaikan suhu terus-menerus menyebabkan gagalnya aktivitas. Regresi linear sesuai pada skala suhu yang pendek dan koefisien-koefisien regresinya pada suhu optimum positif sedangkan pada suhu di atasnya negatif. Keseluruhan kurva responsinya telah ditunjukan oleh Williams & Osman (1960), yang menggunakan perangkap di Mesir di mana rata-rata setiap bulan suhu udaranya cukup tinggi mencapai optimum, 18-29oC dan bahkan hingga 29-34o C.

Pada sarang serangga di laboratorium, jumlah aktivitas terbang individu dari suatu spesies tunggal per menit memberikan kurva responsi yang mirip, meningkat secara bertahap hingga suhu optimum dan secara berangsur-angsur turun ke nol, dengan demikian beberapa hasil laboratorium dapat melengkapi analisis regresi yang dilakukan Williams. Namun aktivitas terbang dalam sarang terbatas dan tidak sama dengan di alam bebas dan jumlah aktivitas terbang per menit sangat dipengaruhi oleh keterbatasan eksperimental ini. Pada perangkap serangga dari kelompok taksonomi yang besar, peningkatan jumlah serangga yang terbang di alam bebas juga sesuai dengan peningkatan suhu udara, hal ini disebabkan oleh meningkatnya sumlah spesies yang terbang dan jumlah individu masing-masing spesies.

Anggaplah bahwa masing-masing individu serangga hanya dapat terbang pada dua batasan suhu udara, di bawah dan di atas ambang batas/threshold, dan bahwa semua serangga dari spesies yang sama dalam keadaan lokal yang sama memiliki ambang batas serupa, yaitu ambang batas suhu spesifik untuk spesies tertentu. Maka diantara kedua ambang batas, proporsi serangga yang terbang kemungkinan akan independen terhadap suhu udara. Karenanya metode regresi mungkin tidak sesuai digunakan untuk menganalisis respons suhu udara oleh spesies serangga tunggal.

Selanjutnya saya telah menganalisis hubungan jumlah aktivitas terbang di alam terbuka dari lima spesies serangga berbeda terhadap suhu udara, untuk menemukan hubungan pengaruh suhu terhadap aktivitas terbang maupun metode yang sesuai untuk evaluasi ini, sesuai hipotesis yang ada. Namun, perubahan aktivitas dan populasi serangga merupakan proses kronologis dan penangkapan serangga berlangsung secara spontan. Kemudian saya meneliti kembali perangkap yang digunakan sebelum dan sesudah analisis, semuanya berlangsung dalam skala penelitian laboratorium.

 

 

TEORI TRAP CATCHES/JEBAKAN PENANGKAP

Pengertian trap catch

 

Densitas serangga di udara selalu berubah-ubah dan hanya sedikit spesies serangga yang dapat terbang siang dan malam hari. Jumlah aktivitas terbang serangga yang bisa terbang seharian selama 24 jam ditunjukan dalam gamb.1 dengan mem-plot jumlah serangga per satuan volume udara, aerial density (p), versus waktu (t).

Serangga terbang selama periode waktu (Tf), dari t2 hingga t5, yang bervariasi setiap harinya. Penangkapan dalam periode 1 jam (Ti), dari t3 hingga t4, memberikan hasil yang sebanding dengan

the cross-hatched area (area bergaris selang-seling) (C1). Penangkapan dalam periode satu hari (T24), t1 hingga t6), memberikan hasil yang sebanding dengan semua area yang diarsir (C24). Namun, C24 sebenarnya diperoleh dari periode Tf, di mana kurang dari T24 karena tidak ada serangga yang terbang antara t1 dan t2, maupun t5 dan t6, yaitu malam hari. Pada serangga yang terbang malam hari situasinya terbalik; tidak ada yang tertangkap selama beberapa jam di siang hari.

 

(gambar 1. Variasi jumlah serangga yang terbang setiap jam. Area yang diarsir sebanding dengan total tangkapan satu hari; area bergaris selang-seling sebanding dengan tangkapan satu jam. T24 adalah periode tangkapan 24 jam; Tf adalah periode terbang; T1 adalah periode tangkapan 1 jam, 4 July 1949)

 

Dengan demikian tangkapan selama 24 jam, seperti tergambar dalam kurva hubungan densitas dengan waktu, dapat dirumuskan sebagai berikut:

(persamaan 1)

 

di mana p adalah densitas aerial spontan, t adalah waktu, periode tangkapan adalah T24, dan periode terbang adalah Tf, bukan T24. Tf tidak selalu konstan setiap hari.

Williams (1940) membuat langkah berarti dengan mempertimbangkan hubungan biologi antara trap catch dengan proposisi, bahwa tangkapan sebanding dengan aktivitas populasi x:

(persamaan 2)

di mana populasi, P, merupakan total populasi yang ada dan aktivitas, A, merupakan proporsi terbang’, ki adalah konstanta. Namun hasil populasi P dan aktivitas A lebih spesifik merupakan densitas serial spontan p, i.e.

(persamaan 3)

dan dengan demikian persamaan 1 diubah menjadi:

(persamaan 4)

 

Persamaan 2 sebanding dengan persamaan 4 jika diasumsikan bahwa (t5-t2) adalah sama setiap hari serta P dan A independen selama periode T24. Persamaan ini cukup tepat digunakan sebagai perkiraan awal dalam heterogenitas serangga dengan Tf yang luas dan sulit diukur dengan tepat karena terjadinya tumpang tindih waktu terbang. Namun, pada spesies tunggal, konsep ‘catch/tangkap’ belum dapat digunakan dalam analisis tanpa defenisi lebih lanjut tentang waktu; batasan-batasan ini sangat penting. Perbedaan ini tidak hanya secara akademis. Jika sebuah jebakan kosong setiap jam, maka definisi tangkapan per satu satuan waktu cukup akurat. Namun, jika jebakan kosong seharian, maka lamanya waktu serangga beraktivitas selama siang hari akan sama pentingnya dengan densitas aerialnya untuk menentukan total tangkapan serangga. Faktanya, apabila densitas aerial tetap konstan, maka tangkapan adalah hasil sederhana dari densitas aerial rata-rata (D=p) dan waktu terbang (Tf), yaitu pengaruh faktor-faktor lingkungan sebagai varian independen terhadap varian dependen, tangkapan, dapat ditentukan dari lamanya waktu dan intensitas aktivitas mereka. Karena beberapa faktor lingkungan berfluktuasi setiap hari dalam batasan yang luas, serta aktivitas hanya berlangsung pada sebagian waktu setiap hari, maka hal ini tidak bisa diabaikan dalam analisis.

 

 

Analisis tingkat aktivitas dalam ambang batas

 

Williams (1940) juga menunjukan bahwa total aktivitas adalah hasil dari (aktivitas bergantung pada suhu) x (aktivitas bergantung pada cahaya) x (aktivitas bergantung pada kecepatan angin, dll. Menurut hipotesis ambang batas, tingkat aktivitas dapat dikatakan bergantung pada dua hal. Dibawah nilai ambang batas maka aktivitas terbang terhambat dan aktivitasnya 0; di atas nilai ambang batas aktivitas tidak terhambat dan aktivitasnya 1. Hal yang sama juga berlaku pada faktor cahaya, kecepatan angin, dll., jika terdapat nilai ambang batasnya. Dengan demikian, total aktivitas, A, merupakan hasil dari 0s dan 1s, atau sama dengan 0 atau 1. Hal ini sangat tepat diamati pada serangga tunggal. Namun, ambang batas tidak selalu tepat sama pada individu-individu yang berbeda maupun pada keadaan yang berbeda, dan tampak sebagai distribusi frekuensi dalam suatu populasi. Peluang bagi A bernilai 1 dalam keadaan tertentu akan meningkat jika suhu udara meningkat dalam daerah ambang batas dan distribusi probabilitas akan tampak, dengan pengulangan sampel dari populasi di lapangan, dihubungkan dengan ambang batas distribusi individu-individu dalam populasi.

 

Pemisahan ‘populasi’ dan ‘aktivitas’

 

Williams memperhatikan populasi yang sangat heterogen di mana dia dapat mengasumsikan bahwa populasi relatif berubah perlahan-lahan pada T24 dan dengan demikian keberhasilan penangkapan yang berubah-ubah setiap hari, makin cepat berlangsung, yang sangat dipengaruhi oleh aktivitasnya. Namun Johnson’s (1952) yang secara intensif menganalisis aktivitas terbang Aphis fabae menunjukan dengan jelas bahwa populasi dapat sewaktu-waktu berubah dengan cepat sesuai aktivitasnya, sehingga perbedaan waktu yang digunakan oleh Wiiliams tidaklah valid.

Dengan menggunakan diferensiasi waktu untuk memisahkan aktivitas dan perubahan populasi dihasilkan respons regresi terhadap range suhu hampir sama dengan fluktuasi suhu normal. Jika responnya merupakan ambang batas, maka fluktuasi apapun dalam densitas aerial ketika suhu udara bebas dari ambang batas harus dianggap sebagai fluktuasi karena peluang atau populasi. Beberapa fluktuasi dapat dihilangkan dengan mengklasifikasikan tangkapan sebagai 0 atau 1. Sehingga tangkapan per jam adalah 0 hingga suhu meningkat sampai batas bawah ambang batas, adalah 1 jika suhu tetap berada di atas ambang batsa, dan 0 kembali jika suhu menurun di bawah ambang batas. Jika suhu udara meningkat di atas ambang batas sepanjang hari, maka akan ada periode tanpa tangkapan sepanjang waktu itu.

Jika populasi tetap konstan, atau jika fluktuasi populasi dihilangkan dengan cara mengklasifikasikan tangkapan, maka ukuran yang sesuai digunakan untuk mengetahui pengaruh suhu udara terhadap aktivitas adalah periode sepangjang terjadinya aktivitas terbang, yang dapat diperkirakan dari jumlah periode pengambilan sampel tangkapan. Hal ini pastinya sebanding dengan waktu di mana suhu udara tetap berada di antara ambang batas bawah dan atas, yaitu grafik periode terbang yang diukur versus perkiraan periode terbang harus menghasilkan regresi linear.

Diasumsikan bahwa jebakan cukup sensitif untuk menangkap serangga kapanpun populasinya aktif. Namun jika tidak, peluang element pada sampel akan sangat besar dan distribusi ambang batas akan kabur akibat penghambat-penghambat lain dalam jebakan.

(tabel 1)

Hambatan sensitivitas serupa terjadi jika periode tangkapan relatif lama terhadap kecepatan perubahan suhu. Tangkapan harian hanya dapat digunakan pada suhu maksimum atau minimum harian di bawah atau di atas ambang batas. Dengan cara ini, tangkapan per jam yang dihasilkan akan berkurang tingkat kesalahan/error-nya. Apabila hanya satu serangga yang tertangkap maka suhu per jam rata-rata akan lebih sesuai digunakan dibandingkan suhu maksimum atau minimum, karena hanya kecil kemungkinan satu individu tunggal tertangkap secara instan, serta waktu di mana suhu mencapai maksimum atau minimum sangat singkat; namun pada tangkapan yang lebih banyak, suhu maksimum dan minimum dapat digunakan dalam tangkapan harian.

JEBAKAN DAN TANGKAPAN

 

Semua penelitian dilakukan pada populasi alami dan habitat normal mereka. Serangga ditangkap dengan berbagai jenis jebakan sehingga densitas aerialnya dapat dihitung dengan tepat.

Percobaan 1

Sebuah jebakan hisap sepanjang 18 inci (46 cm) (Johnson dan Taylor 1955) dipasang di lahan penanaman gandum pada bulan Mei 1960. Jebakan tersebut dikosongkan pukul 15.00 setiap harinya selama 24 jam untuk menangkap serangga. Suhu udara diukur terus-menerus sepanjang jarak 200 yard (180m) pada ketinggian 4 feet (1-2m) dengan layar Stevenson.

Percobaan 2 dan 3

Sebuah jebakan hisap (Taylor 1951) dipasang pada ladang kacang berumur panen pada Juli 1952; mekanisme segregasi dalam jebakan menghasilkan tangkapan per 30 menit. Suhu diukur pada ketinggian ladang 1 feet (30cm) dan 4 feet (120cm) menggunakan termograf jarak jauh berlapis merkuri (Johnson, Taylor & Haine 1957).

Percobaan 4 dan 5

Empat jebakan hisap berukuran 12 inci (30cm) (Johnson & Taylor 1955) digantung di atas menara, satu jebakan pada ketinggian 9 feet (2,7m) dan 21 feet (6,4m) dan dua jebakan lain di ketinggian 56 feet (17m), sepanjang daerah bertekanan rendah selama musim gugur tahun 1953, 1954, dan 1955 (Taylor dan Carter 1961). Tangkapan per jam diperoleh dan tangkapan dari keempat jebakan dihitung. Suhu direkam dengan termograf pada ketinggian 5 feet (1-5m) dengan layar Stevenson sepanjang jarak 200 yard (180m).

Tangkapan

Serangga-serangga yang digunakan dalam penelitian ini adalah: percobaan 1, ratu tawon spesies Vespula germanica (Fabr.); percobaan 2, lebah kacang hitam Aphisfabae Scop., alate alienicolae; percobaan 3, beetle Rhagonycha fulva (Scop.); percobaan 4, Agrochola lychnidis (Schiff.); percobaan 5, Amphipyra tragopoginis (Linn.); Semua serangga ini disebut dalam penelitian Kloet & Hincks (1945).

 

ANALISIS

 

Contoh1. Vespula germanica (Fabr.)

Karakteristik terbang serangga dapat dipelajari dalam populasi dengan jumlah individu konstan, namun populasi buatan harus dikurung dalam sarang dan menghambat aktivitas terbang mereka. Sebaliknya, populasi serangga alami terbang bebas namun jarang memiliki jumlah konstan. Namun, pada musim semi 1960, ratu tawon V. germanica baru mengalami hibernasi dan tampaknya populasinya cukup konstan selama waktu tertentu karena belum terbentuk ratu baru dan kurangnya musuh alami tawon. Selain itu sang ratu bertelur sendiri sehingga sampel yang dihasilkan acak.

Gambar 2a menunjukan tangkapan harian yang terukur densitas aerialnya selama serangga beraktivitas. Sejumlah tawon mati selama musim semi, sehingga seperti telah diperkirakan sebelumnya, tingkat populasi konstan hingga akhir Mei pada saat berakhirnya musim kawin. Hanya tangkapan bulan Mei yang dianalisis.

Pada gambar 2b, tangkapan individu per hari diplot versus suhu maksimum harian, tidak menunjukan regresi namun mengindikasikan adanya ambang batas bawah. Aktivitas terbang tidak berlangsung dibawah suhu 15oC, namun tidak terbukti bahwa pada suhu yang lebih tinggi lebih banyak aktivitas terbang. Tidak ada bukti pada ambang batas atas karena suhu tidak mencapai lebih dari 22oC.

Walaupun populasi ini dipilih karena dianggap cukup konstan, variasi tingkat populasi dapat lebih lanjut dihilangkan dengan merekam setiap tangkapan sebagai 1 jika tangkapan positif, atau 0. Tangkapan positif selanjutnya direkam sebagai persentasi keadaan pada saat jebakan beroperasi, dalam tiap interval suhu. Pada saat ini, karena waktunya singkat dan interval suhu harus lebih besar agar dapat memperoleh persentasi yang memadai, maka hasil pengamatannya agak acak (gambar 3a). Hasil pengamatan ini dilaporkan sebagai nilai ambang batas, bukan regresi. Laporan ini tidak langsung terbukti dari gambar yang dihasilkan karena hanya sedikit poin yang ada, namun analog dengan contoh-contoh selanjutnya sehingga kesimpulannya hampir sama.

 

(Gambar 2 (a) tangkapan harian (24 jam) ratu tawon menunjukan perubahan tingkat populasi pada akhir Mei. (b) ambang batas terbang yang acak dihasilkan dengan memplot tangkapan harian sepanjang bulan Mei versus suhu maksimum sepanjang hari)

 

Seperti yang telah diperkirakan, ketika tingkat populasi konstan, maka tangkapan selama 24 jam sebanding dengan hasil lamanya waktu terbang dan densitas aerial rata-rata:

C24 = 5Tf = kpTf

yaitu persamaan regresi antara C24 dan Tf waktu di atas ambang batas, di mana kp adalah konstanta hubungan antar tingkat populasi.

 

(Gambar 3. (a) jumlah kuantitatif ambang batas terbang ratu tawon yang dihasilkan dari plot presentasi keadaan ketika aktivitas terbang terjadi versus suhu maksimum. (b) regresi tangkapan 24 jam versus waktu yang dibutuhkan untuk aktivitas aterbang per hari, yaitu waktu di atas ambang batas, baerdasarkan asumsi bahwa populasi relatif konstan)

 

Berdasarkan gambar 3a yang menunjukan ambang batas suhu untuk terbang, aktivitas terbang tidak dihambat oleh suhu di atas 15,5oC. Jika aktivitas terbang hanya dihambat oleh suhu, maka nilai Tf akan dihasilkan selama periode di mana suhu tetap berada dibawah 15,5oC. Regresinya diplot pada gambar 3b; korelasi sangat signifikan (tabel 1) dan garis regresi tidak akan jauh terpisah dari garis aslinya, sesuai perkiraan awal. Ini berarti bahwa faktor utama dalam aktivitas terbang adalah waktu, walaupun suhu merupakan faktor yang mempengaruhi karakteristik serangga, dan ketika suhu melewati ambang batas, maka densitas aerial serangga independen terhadap suhu, dan tetap konstan pada nilai rata-rata 3,1 tawon per 5,5 jam sampel udara, yaitu 14,5 ratu per 106 feet3 udara (28 320 m3).

(Tabel 2. Data distribusi ambang batas suhu)

 

Contoh 2. Aphis fabae Scop. (The black bean aphid)

 

Spesies kedua dipilih karena telah ditunjukan dalam analisis (Johnson, 1952) dan sintesis (Johnson et al. 1957), bahwa unsur terbesar dalam variasi densitas aerial tertentu adalah tingkat populasi dan fluktuasi tiap jam. Pada contoh ini ada bukti eksperimental dari periode terbang (Tf) yang diukur per 30 menit, dan penggunaanya menggantikan ukuran jebakan, yang dalam contoh 1 didasarkan pada asumsi bahwa tingkat populasi konstan. Data yang tersedia adalah 1152 sampel serangga yang ditangkap tiap 30 menit dan catatan suhu terus-menerus.

Aktivitas terbang A.fabae dihambat oleh intensitas cahaya yang kurang dan suhu rendah dan ambang batas cahaya berlaku khususnya di sore hari ketika matahari terbenam sebelum suhu udara menurun. Penting untuk mengelusidasi ambang batas cahaya dan suhu bersama-sama, sehingga keduanya akan saling mempengaruhi. Dengan menggunakan prosedur yang sama dengan penentuan ambang batas suhu, ambang batas cahaya diperoleh, menggunakan waktu sebagai indeks intensitas cahaya yang memiliki hubungan sangat erat. Hasilnya dapat dilihat pada gambar 4a di mana kurva probabilitas secara grafik sesuai dengan poin-poinnya. Hanya 50% dari kurva ini yang digunakan dan suhu yang dianalisis hanya dari pukul 04.30 sd 19.30, yaitu di atas ambang batas cahaya.

Ambang batas suhu tampak pada hipotesis bahwa tangkapan satu atau lebih serangga dapat dijadikan bukti bahwa aktivitas terbang terjadi, sementara ukuran jebakan tidak digunakan. Johnson (1952) menunjukan bahwa analisis regresi terhadap tangkapan suhu rata-rata x gagal. Masing-masing tangkapan per 30 menit selanjutnya dicatat sebagai positif (satu atau lebih serangga) atau nol dan jumlah tangkapan positif dalam interval suhu 10oC dihasilkan dari persentasi jumlah tangkapan positif dan nol dalam selang interval.

(gambar 4. Ambang batas untuk (a) cahaya dan (b) suhu pada Aphis fabae yang dihasilkan dari plot persentasi keadaan di mana aktivitas terbang terjadi versus waktu dan suhu maksimum pada ketinggian 4 feet (1,2m) selama periode jebakan 30 menit)

 

Persentasi keadaan ketika aktivitas terbang terjadi diplot versus suhu (gambar 4b) dan dibuatlah kurva probabilitas aritmetika yang sesuai; menghasilkan ambang batas suhu dengan rata-rata 17,5oC, mendekati nilai yang dihasilkan dalam eksperimen laboratorium (Johnson & Taylor 1957).

Jika densitas aerial dihasilkan dari tingkat populasi dan karakteristik terbang yang dihubungkan dengan cahaya dan suhu seperti terlihat pada gambar 4a dan 4b, dan jika perubahan populasi dapat dihilangkan dengan catatan tangkapan 0 atau 1, maka jumlah tangkapan dalam waktu 30 menit haruslah berkorelasi dengan periode waktu antara ambang batas cahaya dan suhu sejak pagi hingga sore hari, kapanpun jebakan beroperasi. Korelasi ini ditunjukan dalam gambar 5a, dibandingkan dengan korelasi waktu tangkapan pada gambar 5b. Regresi yang sesuai (gambar 5a), (periode terbang yang diukur) = 1-5+0-875x (perkiraan periode terbang dalam jam), sangat signifikan (tabel 1), diperoleh dari lebih dari 70% varian. Salah satu sumber varian residual menunjukan batas bawah sensitivitas jebakan, di mana tiga poin paling divergen terjadi ketika tangkapan secara persisten berkurang. Sumber lainnya adalah penggunaan hanya satu sampel jebakan dari daerah-daerah beriklim mikro sehingga dianggap terjadi error ketika suhu tetap berada pada ambang batas selama beberapa periode tangkapan, dan sumber ketiga adalah kemungkinan interaksi antara cahaya dan suhu dalam range ambang batas, yaitu hubungan yang ditunjukan oleh Gaul (1952).

Namun demikian, tingkat sensitivitas jebakan sangat tinggi; tangkapan positif meningkat hingga 100% pada keadaan di mana suhu berada di atas ambang batas. Hal ini meningkatkan sensitivitas dan fakta bahwa periode terbang diukur secara langsung, bukannya tidak langsung, yang meningkatkan variansi dari 40% pada contoh 1 hingga 71% di contoh 2, dan menghasilkan data yang sebanding dengan hasil eksperimen laboratorium.

Jebakan ini terletak pada daerah vegetatif di ladang yang menghasilkan lebah aphid. Lebah aphid pertama-tama bermigrasi melewati ladang sehingga ambang batasnya adalah take off, bukan aktivitas terbang terus-menerus (dapat dilihat kemudian). Dapat pula dilihat bahwa take-off tidak dihambat oleh suhu yang tinggi sekurang-kurangnya 36oC. Suhu tersebut melebihi suhu maksimum pengembangan (Taylor 1957).

 

(Gambar 5. Total tangkapan harian Aphis fabae tidak memberikan regresi ketika diplot versus waktu terbang, (b) karena fluktuasi populasi terjadi setiap jam. Ketika fluktuasi populasi dihilangkan dengan memplot waktu di mana aktivitas terbang terjadi versus waktu yang tersedia, regresi yang sangat signifikan dihasilkan (a))

 

Contoh 3. Rhagonycha fulva (Scop.) (The soldier beetle)

 

Sensitivitas jebakan sangat relatif terhadap densitas populasi sehingga Aphis fabae hampir selalu terjebak ketika cahaya dan suhu di atas ambang batas terbang, yaitu ketika seluruh periode terbang yang ada digunakan, aktivitas terbang biasanya terjadi dalam 100% kejadian (gambar 4a dan 4b). Selain itu, tidak ada ambang batas suhu atas melebihi 36oC yang ditemukan pada A.fabae.

Rhagonycha fulva dipilih untuk menggambarkan kedua hal ini lebih lanjut. R.fulfa bukanlah serangga yang sering ditemukan seperti Aphis fabae. Karena sensitivitas jebakan, seperti yang terjadi pada A.fabae, jauh lebih rendah untuk serangga ini maka banyak sampel yang diambil dalam selang 30 menit ketika aktivitas terhambat akibat kurangnya cahaya maupun suhu namun bukan akibat densitas aerial. Keseluruhan, 181 serangga dari 816 sampel serangga yang ditangkap per 30 menit ditangkap dalam 17 hari, rata-rata 0-22 serangga per sampel; total per hari bervariasi dari 2 sampai 22.

Terdapat bukti ambang batas atas dan bawah (gambar 6). Kedua ambang batas tampak sebagai distribusi probabilitas aritmetika; bukti ambang batas atas umumnya terjadi dalam 2 hari dan semakin banyak tangkapan mungkin memodifikasi nilainya. Suhu yang digunakan adalah suhu rata-rata setiap periode 30 menit pada ketinggian 1 feet dari tanah. Pada kebanyakan hari aktivitas terbang dihambat oleh suhu yang rendah pada sore hari, namun karena Rhagonycha fulva tidak ditemukan dalam jebakan antara pukul 22.00 sampai 02.00, maka periode gelap ini tidak tercatat dalam komputer.

(Gambar 6. Kurva persentasi aktivitas terbang Rhagonycha fulva menunjukan ambang batas bawah dan atas versus suhu rata-rata pada ketinggian 1 feet (0,3m)

 

Persentasi keadaan pada ambang batas bawah dan atas dari aktivitas terbang yang diamati mencapai 34%.

 

(Gambar 7. Tangkapan ahrian Rhagonycha fulva tidak memmberikan regresi (a), namun pengukuran periode cahaya memberikan regresi pada tiga hari terakhir pengamatan)

 

Dengan kata lain, hanya satu dari tiga sampel yang menghasilkan tangkapan, bahkan walaupun pada saat cahaya atau suhu berlaku sebagai faktor pembatas. Hal ini dianggap sebagai pengaruh akurasi jebakan, seperti terlihat pada gambar 7a dan 7b, di mana tangkapan harian dan periode terbang yang terukur diplot versus perkiraan periode terbang. Tidak ada lagi korelasi signifikan diantaranya. Namun, jika 3 hari terakhir pengamatan dihitung, yaitu pada saat tingkat populasi berada pada titik terendah sebelum akhirnya habis, maka korelasi yang dihasilkan hampir signifikan (level 10%) untuk tangkapan harian dan signifikan (level 5%) untuk perkiraan waktu terbang (tabel 1); 30% varian perkiraan waktu terbang dapat dijelaskan namun hanya 22% tangkapan harian yang menunjukan tingkat populasi tidak konstan. Kurva regresi E.F.P. x M.F.P. melewati hampir seluruh kurva aslinya (yo= 0,21). Dengan membandingkan grafik ratu tawon di mana sensitivitas jebakan rendah, tampaklah bahwa masih ada beberapa faktor lain yang harus ditemukan. Namun, segregasi tangkapan per 30 menit dianggap meningkatkan distribusi ambang batas. Jika dibandingkan dengan hasil pengamatan pada Aphis fabae, sensitivitas jebakan yang rendah mengurangi efisiensi total dari metode dan metode pengurangan fluktuasi populasi menjadi kurang efektif, khususnya ketika nilai rata-rata sampel mendekati 1.

 

Contoh 4 dan 5. Agrochola lychnidis dan Amphipyra tragopoginis (Lepidoptera)

 

Contoh yang digunakan adalah serangga yang dapat terbang seharian. Berdasarkan pengamatan, cahaya merupakan faktor pembatas pada beberapa serangga, namun terdapat beberapa jam tangkapan pada ambang batas atas cahaya di mana aktivitas terbang dipengaruhi sebagian besar, bahkan keseluruhan, oleh suhu. Bagi serangga yang terbang malam hari, situasinya sangat berbeda. Cahaya menjadi faktor utama dalam menentukan periode terbangnya dan masing-masing serangga memiliki periode berbeda.

Faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas terbang Macrolepidoptera telah dijelaskan oleh (Taylor & Carter 1961), serta ambang batas suhu dan periode terbang digambarkan pada serangga moths yang terbang malam hari dapat digunakan sebagai acuan analisis lengkap. Metode yang digunakan adalah sebagai berikut. Dengan menggunakan beberapa jam di malam hari ketika aktivitas terbang dapat terjadi, setipa tangkapan per jam diplot versus suhu pada diagram garis. Hasil tangkapan kemudian dihitung dalam interval 10oC dan digambarkan dalam bentuk kurva. Kurva ini menggambarkan ambang batas pada suhu 9o C dan 10.5o C bagi spesies Agrochola lychnidis and Amphipyra tragopoginis respectively (lihat Taylor & Carter 1961).

Dari penjelasan di atas jelaslah bahwa metode ini secara implisit mengasumsikan bahwa tingkat populasi tetap konstan; bahkan jika ditambahkan dengan perhitungan tangkapan dari tahun berbeda. Berdasarkan pendapat dalam penjelasan ini, hasil yang lebih jelas dapat diperoleh jika tingkat populasi dihilangkan menggunakan persentasi aktivitas terbang yang terjadi.

 

 

 

Agrochola lychnidis (Schif.) (The beaded chestnut)

 

Gambar 8a menunjukan periode terbang moth. Hanya dengan menggunakan 4 jam waktu terbang utama, pada pukul 16.00-20.00, gambar 8b memberikan persentasi aktivitas terbang pada bulan Oktober tahun 1953/54/55. Pola aktivitas terbang antara pukul 16.00-20.00 sederhana, dan hasil ambang batas suhunya jelas dan meyakinkan. Ambang batas bawah pada suhu 80oC dibandingkan dengan suhu 90oC apabila memperhitungkan ukuran jebakan (Taylor & Carter 1961). Suhu terendah, 80oC dapat dianggap sebagai ambang batas atas ketika aktivitas terbang terjadi; suhu 9oC, menjadi ambang batas atas apabila aktivitas terbang jarang terjadi. Ambang batas teratas, 16.6oC, sangatlah rendah. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya adaptasi terhadap toleransi suhu sehingga sesuai dengan respons terhadap cahaya, atau vice versa, namun dapat juga disebabkan karena terlalu sedikitnya jebakan. Hasil yang ditunjukan berasal dari tangkapan 24 jam yang sukses, selama 30 hari, dari empat jebakan, selama 3 tahun. Hasil ini menunjukan sulitnya memperoleh hasil yang memadai ketika periode terbang dibatasi oleh faktor-faktor lainnya.

 

(Gambar 8. Menggunakan periode antar grafik dot yang sangat singkat (a), persentasi aktivitas terbang yang terjadi pada ambang batas bawah dan atas (b) dihasilkan oleh tangkapan per jam Agrochola lychnidis versus suhu rata-rata pada ketinggian 5 feet (1,5m))

 

(Gambar 9. Periode terbang Amphipyra tragopoginis menunjukan dua tingkat densitas aerial yang berbeda (a). Ambang batas bawah dan atas aktivitas terbang versus suhu maksimum pada ketinggian 5 feet (1,5m) ditemukan, namun kurva persentasi aktivitas terbang rumit, tidak seperti contoh sebelumnya)

 

Amphipyra tragopoginis (Linn.) (The mouse)

 

Gambar 9a menunjukan periode aktivitas terbang per hari dan gambar 9b adalah persentasi aktivitas terbang. Menggunakan data waktu pukul 19.00-05.00 selama musim terbang, 1 Agustus-20 Sept. 1954 dan 26 Juli-30 Sept. 1955,tampaklah bahwa keduanya memiliki tingkat aktivitas yang berbeda; suhu antara 12 dan 16o C serta 17 dan 21o C, menaikan ambang batas hingga 9.25o C dan 16.5o C; ambang batas 9.25o C memiliki distribusi yang sangat luas. Saya belum cukup puas dengan penjelasan yang ada, walaupun terbukti pada col. 8, Table 2, bahwa kenaikan suhu menjadi 16,5oC tidak disebabkan oleh kenaikan tangkapan positif di atas suhu ini, namun mungkin karena adanya interaksi antara siklus suhu harian dan bentuk kurva periodik aktivitas terbang (gambar 9a). Untuk tujuan ini, ambang batas bawah berada pada suhu 9,25oC dan ambang batas bawah, yang masih diragukan validitasnya, pada suhu 21,5oC.

PEMBAHASAN

 

Berdasarkan contoh-contoh yang diberikan, ambang batas bawah suhu, pada iklim suhu rata-rata, merupakan faktor iklim yang penting untuk menentukan aktivitas terbang serangga dan dapat diukur dengan jelas dan sederhana menggunakan jebakan tangkap. Tanpa diragukan lagi bahwa terdapat ambang batas atas, walaupun kurang berpengaruh seperti ambang batas bawah pada daerah Inggris selatan. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memastikan apakah penelitian laboratorium menghasilkan hasil yang sama.

Asumsi dasar yang diperoleh berdasarkan analisis ini adalah bahwa, walapupun suhu cukup tinggi sehingga serangga dapat menghasilkan energi yang cukup untuk tetap terbang, aktivitas terbang relatif independen terhadap suhu. Hal ini mengimplikasikan bahwa kemampuan dan keingginan untuk terbang independen terhadap suhu. Bukti eksperimen laboratorium terbatas untuk beberapa spesies, dan kebanyakan penelitian terhadap fungsi-fungsi aktivitas terbang yang berhubungan dengan suhu dianggap dipengaruhi oleh beberapa aspek seperti frekuensi kepakan sayap atau amplitudo. Namun hal ini hanya menunjukan kemampuan untuk terbang, bukan keinginan. Dalam penelitian terhadap Douglas Fir beetle (Dendroctonus pseudotsugae Hopk.), Atkins (1960) mengamati bahwa, ‘ suhu tidak mempengaruhi amplitudo kepakan sayap. Tampaklah bahwa frekuensi kepakan sayap meningkat cepat pada suhu 68o hingga 72oF, di mana aktivitas terbang spontan terjadi. Pada saat suhu optimal terbang tercapai, frekuensi kepakan sayap bertambah menjadi hanya beberapa putaran per detik dengan peningkatan suhu 18oF’. Tampaklah bahwa ‘suhu optimal’ dalam konteks ini sama dengan ‘ambang batas suhu’ yang digunakan di sini.

Sotavalta (1947) mencatat frekuensi kepakan sayap pada suhu yang berbeda dari 15 spesies serangga; empat spesies Hymenoptera (Apis mellifica L.; Bombus agrorum F.; Vespa vulgaris L.; Absyrtus luteus Hgr.) dan satu spesies Coleoptera (Cantharis sp.) menunjukan tidak ada tanda-tanda ketergantungan terhadap suhu, satu spesies Lepidoptera (Hemaris fuciformis L.) menunjukan perubaha trivial sebesar 10% pada suhu 30o C, dan sepuluh spesies Diptera menunjukan peningkatan frekuensi kepakan sayap menurut peningkatan suhu. Namun, harus dicatat bahwa pada suhu di atas 30oC, rata-rata perubahan frekuensi hanya 38 dan frekuensi tertinggi yang dicapai; hanya satu spesies (Musca autumnalis Deg.) yang frekuensi naik du akali lipat pada suhu 32oC. Dengan kata lain, pada suhu terbang terendah, frekuensi kepakan sayap mencapai separuh nilai maksimum 9 spesies (Drosophila melanogaster (Mg.); D. funebris F.; Boreellus terraenovae R-D.; Musca domestica L.; Calliphora sp.; Culicidae spp.; Tipula sp.). Penggandaan frekuensi kepakan sayap tidak berarti aktivitas terbang meningkat dua kali lipat.

Kami menemukan bahwa aktivitas terbang bebas Aphisfabae Scop., yang memiliki ambang batas terbang 15oC (Cockbain 1961), meningkat sekitar 15% pada suhu 17,5 dan 30oC (hasil pengamatan yang tidak terpublikasi). Weir-Fogh (1956) yang meneliti Schistocerca gregaria Forskal dalam flight mill, pendulum atau timbangan, menyimpulkan bahwa antara suhu 25 dan 35oC suhu tidak mempengaruhi aktivitas terbang maupun frekuensi pukulan sayap yang telah dipilih karena ketergantungan suhu harusnya gampang terdeteksi.

Saya menyimpulkan bahwa aktivitas terbang Aphis fabae dan Schistocerca gregaria mungkin serupa; bahwa dalam range suhu di mana serangga dapat terbang, kemampuan terbang sedikit dipengaruhi oleh suhu. Pada kebanyakan serangga perubahan dari tidak bisa menjadi bisa terbang terjadi secara spontan pada beberapa suhu kritis.

Tahapan proses ini telah secara rinci dipelajari pada Aphis fabae oleh Cockbain (1961), yang menunjukan tiga ambang batas terpisah, untuk kepakan sayap (6,5oC), aktivitas terbang bebas horizontal (13oC), dan aktivitas terbang bebas ke atas (15oC). Namun, aktivitas terbang bebas harus dipengaruhi oleh take off yang tetap memiliki ambang batas lebih tinggi, 17.3oC (Johnson & Taylor 1957). Dengan demikian, dalam praktiknya, ambang batas operatif akan bergantung pada apakah suhunya tinggi atau rendah. Ketika suhu tinggi, ambang batas take off harus dilewati sebelum serangga dapat terbang. Pada suhu rendah, serangga dapat terus-menerus terbang pada suhu di bawah ambang batas, sedangkan take off pada suhu rendah akan menghambat kepakan sayap. Dalam praktiknya, satu nilai ambang batas akan sering muncul akibat faktor iklim lainnya seperti cahaya.

Realisasi bahwa take off memainkan peranan penting dalam aktivitas terbang dapat dilihat menggunakan actograph, atau melalui pengamatan serangga dalam kotak kecil, untuk mengukur ‘aktivitas terbangnya’. Banyak usaha yang dilakukan untuk mengukurnya kurang berhasil. Kesulitannya terletak pada penentuan fingsi aktivitas terbang yang mana yang akan diukur serta bagaimana cara menginterpretasikannya. Sebagai contoh Nicholson (1934) mencatat jumlah aktivitas terbang pada saat mengangkasa per menit dalam sebuah tabung berukuran 2 inci atau 200cm3, sehingga take off dapat langsung diikuti oleh pendaratan. Hal ini membuktikan bahwa faktor yang diukur adalah kekuatan melakukan take off dan re-takeoff. Hal ini jarang terjadi di alam; ketika ambang batas take off dicapai, faktor-faktor lain selain suhu akan memainkan peranan penting dalam menentukan alighting dan tahapan take off reguler selanjutnya, seperti yang terjadi dalam tabung percobaan, bukan di alam terbuka. Selain itu, jika tidak terhalang oleh tempat berukuran 2 inci maka hubungan fungsi suhu yang relevan adalah pengaruhnya terhadap aktivitas terbang setelah take off. Dengan demikian, percobaan seperti ini akan menentukan beberapa tahapan kompleks batasan-batasan fisik dan pola-pola karakter dengan respon kurva yang meningkat menuju puncak dan turun perlahan-lahan.

Pengamatan terhadap serangga-serangga dalam sangkar adalah valid sebagai ukuran aktivitas secara umum di mana fungsi yang terukur merupakan persentasi populasi yang bergerak secara spontan, dan akan diukur tingkat keinginan serangga untuk bergerak. Sangkar tidak membatasi aktivitasnya. Jika aktivitas terbang diasumsikan memiliki beberapa hubungan dengan aktivitas lainnya secara umum, seperti perkiraan Nicholson (1934), maka beberapa pengamatan yang dilakukan menjadi relevan. Nicholson mengukur persentasi aktivitas serangga pada beberapa suhu berbeda dari empat spesies serangga (Lucilia cuprina Wied., L. sericata Mg., Chrysomyia rufifacies Macq. dan Calliphora stygia Fabr.) dan pada masing-masing spesies sekitar 70% aktivitas terbang terjadi pada suhu konstan 20oC; pada peningkatan suhu terus-menerus hingga lebih dari 25oC yaitu pada korva responsi yang mendatar.

Gunn & Hopf (1941), mengamati persentasi aktivitas serangga Ptinus tectus Boie. yang jarang terbang pada konstanta dan suhu yang berbeda, menyimpulkan bahwa pada suhu 15-30oC persentasi aktivitasnya sedikit demi sedikit berubah. Tingkat aktivitas berubah sesuai perubahan kecepatan dan arah suhu namun suhu sepanjang aktivitas tidak terlalu berbeda (gambar 10).

Mellanby (1939) tidak dapat mengubah nilai ambang batas aktivitas terbang Lucilia and Calliphora dengan menempatkan mereka pada suhu yang berbeda sebelum terbang, dan menyimpulkan bahwa Lucilia dapat terbang pada suhu 14oC apapun kondisinya, dan Lucilia dan Calliphora dapat terbang jika kecepatan metabolisme mereka mencapai tingkat cukup tinggi, dan bahwa ‘berada pada suhu di mana metabolisme mereka mencapai tingkat cukup tinggi’. Dia selanjutnya menyatakan bahwa hanya ada satu metode yang sesuai untuk memperoleh ambang batas suhu pada gerakan spontan, ‘yaitu dengan mengamati karakter serangga pada kondisi alami dalam aktivitas normalnya’. Sangat bermanfaat menggunakan jebakan, namun jika memungkinkan, tidak kurang penting untuk memverifikasi hasil pengamatan dalam skala laboratorium. Dari pengamatan laboratorium yang cukup representatif, saya menyimpulkan bahwa persentasi pergerakan serangga, yang tampak pada kecepatan pergerakannya, relatif tidak bergantung pada suhu udara dalam range yang luas; bahwa ambang batas dan tingkat pergerakan bervariasi sesuai kecepatan dan arah perubahan suhu;

 

(Gambar 10. Kurva persentasi aktivitas Ptinus tectus (setelah Gunn & Hopf 1941) menunjukan ambang batas terendah dan tertinggi dengan range nilai tengah suhu yang luas di mana aktivitasnya tidak banyak dipengaruhi oleh suhu. Kecepatan perubahan suhu udara mempengaruhi tingkat persentasi aktivitas yang dilakukan namun tidak mempengaruhi nilai ambang batas: 1. Suhu konstan; 2. Meningkat cepat; 3. Meningkat lambat, nilai susulan tidak dihitung; 4. Turun perlahan-lahan)

 

bahwa ambang batas ini sangat sesuai pada aktivitas terbang dibandingkan aktivitas lainnya dan mungkin berhubungan dengan tahapan terbang yang komplek. Dalam hal ini, tahapan yang paling membutuhkan koordinasi syaraf dan energi fisik adalah take off, yang merupakan tahapan awal terbang dan memiliki ambang batas tertinggi.

Seperti penjelasan sebelumnya, ambang batas take off dari Aphisfabae di daerah terbuka lebih rumit karena adanya perubahan kecepatan populasi, namun karena spesies ini memiliki data yang paling lengkap, maka saya menggunakannya untuk menggambarkan nilai ambang batas yang terjadi pada aktivitas terbang (gambar 11).

Ambang batas bukanlah spot suhu udara seperti yang mungkin muncul ketika objeknya memiliki sedikit variabel. Distribusi ambang batas pada skala laboratorium meliputi perbedaan respons individual. Di lapangan, perbedaan ini makin nyata karena adanya variasi iklim mikro di mana individu-individu berada dan distribusinya menjadi lebih luas (lihat gambar 11). Selain itu, distribusi yang dihasilkan oleh perbedaan integral, sigmoid, kurva frekuensi terbang, haruslah berhubungan dengan distribusi fungsi yang sama pada skala laboratorium. Hal yang kurang menarik di sini, yang kurang jelas pengertiannya, adalah semua distribusi merupakan probabilitas aritmetika, yaitu simetris, kecuali pada saat posisi take off (Johnson & Taylor 1957).

Hal ini menegaskan poin final : di mana tidak diragukan lagi pentingnya suhu udara dalam percobaan laboratorium, suhu udara di alam terbuka bergantung pada di mana dan bagaimana mereka diukur (lihat tabel 3).

 

(Gambar 11. Kurva persentasi aktivitas terbang dan perbedaan ambang batas suhu dari Aphis fabae: 1. Horizontal dan upward; 2. Aktivitas terbang bebas skala laboratorium (Cockbain 1961); 3, take-off skala laboratorium (Johnson & Taylor 1957); 4, serangga migrasi terbang secepatnya setelah meninggalkan sarangnya yang produktif di lapangan. Tidak ada aktivitas terbang pada suhu dibawah 100oC dan tidak ada perubahan dalam persentasi aktivitas pada suhu 20 dan 350oC. Nilai ambang batas atas belum ditemukan.)

 

(Tabel 3. Distribusi ambang batas suhu udara dari data lapangan; diperoleh secara grafik dari presentasi plot yang ada sebagai probabilitas aritmetika)

 

Jika pengamatan lapangan berhubungan dengan hasil laboratorium, maka suhu udara haruslah dipisahkan dari serangga, dan tidaklah mudah dilakukan khususnya saat matahari bersinar. Dengan demikian suhu lapangan yang dipilih haruslah berimbang sesuai keadaan serangga sehari-hari dengan suhu yang diatur, baik di laboratorium maupun tempat lain. Untuk tujuan ini suhu udara yang paling baik diukur adalah suhu udara ketika serangga ditangkap, setidaknya pada serangga kecil yang memiliki suhu tubuh tidak jauh berbeda dengan suhu udara. Pada serangga besar, seperti hawk moths, perbedaan antara suhu tubuh dan suhu udara mencapai 8 atau 9oC (Church 1960), dan jika jebakan secara efektif dapat mengukur densitas aerial, maka ambang batas suhu udara yang diukur memiliki arti ekologis, apapun mekanisme pemanasan yang dimiliki dan apapun suhu internal serangganya. Namun, jebakan tidak dapat memisahkan perbedaan karakter, misalnya gerakan berputar dengan gerakan terbang sebenarnya, dan keduanya memiliki nilai ambang batas yang berbeda, untuk itu perlu dilakukan pengamatan intuk menginterpretasi jebakan penangkap yang dipakai.

 

(Gambar 12. Persentasi aktivitas terbang dalam suatu populasi heterogen hipotetis yang terdiri dari Aphis fabae, Rhagonycha fulva, Agrochola lychnidis and Amphipyra tragopoginis; data dari tabel 2. Nilai ambang batas yang terpisah sangat jelas menunjukan spesies individual, bergabung dalam satu populasi dengan kurva responsi sesuai dengan analisis regresi. Penggunaan total tangkapan lebih baik daripada presentasi aktivitas terbang memberikan hasil serupa)

 

Terdapat beberapa bukti regresi signifikan dari spesies tunggal serangga versus suhu. Kebanyakan bukti ini berasal dari penelitian ekstensif terhadap lalat tsetse dan telah dengan jelas ditunjukan oleh Vanderplank (1948) dan Glossina pallidapes Austen. Dengan membagi objek ke dalam kelompok-kelompok humiditas, Vanderplank menghasilkan regresi signifikan dari suhu x yang tertangkap dalam masing-masing humiditas, yang berubah dari positif pada keadaan jenuh di bawah 25 mb menjadi negatif pada udara kering. Namun, sama halnya dengan penelitian terhadap tsetse yang lain, hasil ini hanya menunjukan jumlah lalat yang terperangkap; secara instan. Hal ini tidak berarti bahwa hanya aktivitas terbang lalat saja yang dipertimbangkan; respons terhadap rangsangan, daya tarik rangsangan atau transmisi yang dihasilkan rangsangan kemungkinan bervariasi dan mempengaruhi penangkapan.

Hubungan regresi dapat saja dianggap sebagai bukti statistik, yang memperkirakan sebagian kecil respons ambang batas, dan kadang kala dapat memberikan timbal balik yang baik (lihat: Pinchin & Anderson 1936). Namun, terdapat perbedaan biologis mendasar antara regresi dan metode ambang batas yang berimplikasi pada respons fisiologis berbeda terhadap faktor iklim. Akan sulit memvisualisasikan karakter individu-individu yang mengarah pada respons regresi dalam populasi monospesifik; sebaliknya nilai ambang batas merupakan respons fungsi yang tampak berdasarkan karakter individu-individu yang diamati. Hal ini dapat dimungkinkan dalam konteks individu-individu tunggal dan respons dari populasi suatu spesies tunggal, karena masing-masing individu bertindak independen.

Sesuai pendapat ini, respons regresi menjadi dapat diterima sebagai cara penentuan nilai ambang batas diferensiasi suhu udara pada berbagai spesias, yaitu populasi multispesifik yang dianalisis oleh Williams. Gambar 12 menunjukan persentasi respons populasi hipotetical dibandingkan dengan sampel keempat spesies yang dianalisis sebelumnya. Urutan nilai ambang batas suhu absolut pada saat aktivitas berbagai spesies berlangsung digantikan dengan peningkatan respons terus-menerus, sangat sesuai dengan perlakuan regresi, yang secara langsung mengarah pada kecepatan perubahan total populasi aerial yang heterogen sesuai perubahan suhu udara.

Hasil penelitian yang lebih menarik dan tepat dihasilkan dari penelitian ekstensif yang dilakukan Hawkes (1961) terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi densitas lalat Anisopus fenestralis Scop. di dalam dan di sepanjang penyaringan sampah. Menggunakan wind-speed groups terpisah, Hawkes menunjukan suatu regresi positif deviasi yang konsisten dari nilai rata-rata log densitas serangga terhadap deviasi suhu, misalnya tangkapan meningkat dua kali lipat pada saat suhu naik dari 1-20oC. Namun, analisis regresi menunjukan bahwa densitas populasi Anisopus dalam lingkungan terbatas saringan tidaklah konstan dan berfluktuasi sesuai suhu udara dalam reciprocating karena populasinya terbatas. Dengan demikian perubahan populasi kemungkinan yang menyebabkan regresi ini; jika penelitian ini menunjukan hasil sebaliknya maka akan ditemukan mekanisme berbeda tentang respons aktivitas terbang terhadap suhu udara.

 

KESIMPULAN

 

  1. Jumlah serangga yang terbang bebas bergantung pada densitas populasi dan jumlah aktivitasnya. Keduanya dipengaruhi oleh iklim, khususnya suhu udara.
  2. Perubahan populasi dapat dihilangkan dari jebakan penangkap dengan mengklasifikasikan tangkapan sebagai satu kesatuan atau nol, karena jebakan/trap cukup sensitif.
  3. Analisis terhadap beberapa populasi aerial dari spesies tunggal menunjukan bahwa suhu udara bertindak sebagai ambang batas atas di mana aktivitas terbang tidak terhalang.
  4. Sebagai hasilnya waktu terbang yang dibutuhkan ketika suhu udara diatas ambang batas lebih berpengaruh daripada suhu rata-rata dalam jebakan perangkap harian.
  5. Hasil pengukuran ambang batas suhu udara di lapangan yang dianalisis dengan cara ini seakurat hasil eksperimen laboratorium.
  6. Analisis regresi lebih sesuai digunakan dalam populasi multispesifik.

 

UCAPAN TERIMA KASIH

 

Saya mengucapkan terima kasih kepada bapak J. P. Spradbery terhadap penjelasnnya tentang tawon, dan M. J. R. Healy atas kritik yang diberikannya.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Atkins, M. D. (1960). A study of the flight of the Douglas Fir beetle Dendroctonups seudotsugaeH opk.(Coleoptera: Scolytidae). II. Flight movements. Canad. Ent. 92, 941-54.

ChurchN, . S. (1960). Heat loss and the body temperatureo f flying insects.I I. Heat conductionw ithin the body and its loss by radiation and convection. J. Exp. Biol. 37, 186-212.

Cockbain, A. J. (1961). Low temperature thresholds for flight in Aphis fabae Scop. Ent. Exp. Appl. 4,

211-19.

Gaul, A. T. (1952). The awakening and diurnal flight activity of vespine wasps. Proc. R. Ent. Soc. Lond.

A, 27, 33-8.

Gunn, D. L. & Hopf, H. S. (1941). The biology and behaviour of Ptinus tectus Boie. (Coleoptera: Ptinidae), a pest of stored products. II. The amount of locomotory activity in relation to experimental and previous temperatures. J. Exp. Biol. 18, 278-89.

Hawkes, H. A. (1961). Fluctuations in the aerial density of Anisopusf enestralisS cop. (Diptera) above

sewage bacteria beds. Ann. Appl. Biol. 49, 66-76.

Johnson, C. G. (1952). The changing numbers of Aphis fabae Scop., flying at crop level, in relation to

current weather and to the population on the crop. Ann. Appl. Biol. 39, 525-47.

Johnson, C. G. & Taylor, L. R. (1955). The development of large suction traps for airborne insects. Ann. Appl. Biol. 43, 51-62.

Johnson, C. G. & Taylor, L. R. (1957). Periodism and energy summation with special reference to flight rhythms in aphids. J. Exp. Biol. 34, 209-21.

Johnson,C . G., Taylor,L . R. & Haine, E. (1957). The analysisa nd reconstructiono f diurnalf light curves in alienicolae of Aphis fabae Scop. Ann. Appl. Biol. 45, 682-701.

Kloet, G. S. & Hincks, W. D. (1945). A Check List of British Insects. Stockport.

Mellanby, K. (1939). Low temperature and insect activity. Proc. Roy. Soc. B, 127, 473-87.

Nicholson, A. J. (1934). The influence of temperature on the activity of sheep blowflies. Bull. Ent. Res. 25, 85-99.

Pinchin, R. D. & Anderson, J. (1936). On the nocturnal activity of Tipulinae (Diptera) as measured by

a light trap. (2) The influence of temperature, cloud and moonlight on the numbers of insects captured. Proc. R. Ent. Soc. Lond. A, 11, 75-8.

Sotavalta, 0. (1947). The flight-tone (wing-stroke frequency) of insects. Acta Ent. Fenn. 4, 1-117.

Taylor, L. R. (1951). An improved suction trap for insects. Ann. Appl. Biol. 38, 582-91.

Taylor, L. R. (1957). Temperaturer elations of teneral developmenta nd behaviouri n Aphisf abae Scop. J. Exp. Biol. 34, 189-208.

Taylor, L. R. & Carter, C. I. (1961). The analysis of numbers and distribution in an aerial population of

Macrolepidoptera. Trans. R. Ent. Soc. Lond. 113, 369-86.

VanderplankF, . L. (1948). Studies of the behaviour of the tsetse fly, Glossinap allidipes, in the field:

Influence of climatic factors on activity. J. Anim. Ecol. 17, 245-60.

Weis-Fogh, T. (1956). Biology and physics of locust flight. II. Flight performance of the desert locust

(Schistocercag regaria). Phil. Trans.B , 239, 459-510.

Williams, C. B. (1940). The analysis of four years captures of insects in a light trap. Part 2. The effect of weather conditions on insect activity; and the estimation and forecasting of changes in the insect population. Trans. R. Ent. Soc. Lond. 90, 227-306.

Williams, C. B. (1961). Studies in the effect of weather conditions on the activity and abundance of insect populations. Phil. Trans. B, 244, 331-78.

Williams, C. B. & Osman, M. F. H. (1960). A new approach to the problem of the optimum temperatur for insect activity. J. Anim. Ecol. 29, 187-90.

Image

Pengolahan Jahe Merah ppt & liflet

30 Apr

 

liflet hal 1 liflet hal 2Pengolahan jahe merah di Halmahera Barat ppt